Mohon tunggu...
Laura Magvira
Laura Magvira Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Pecinta bakso dan kata. LinkedIn: Laura Magvira. Instagram: lauramgvra

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Bebas tapi Bias

18 September 2021   16:35 Diperbarui: 18 September 2021   16:36 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi menjadi jembatan untuk setiap individu mencapai kebebasan. Setiap hari kecanggihan ilmu pengetahuan terapan ini mendampingi, mulai dari memberi kabar dengan mengirim swafoto sampai investasi saham. Kemudahan dalam melakukan apapun ini selaras dengan kebebasan yang ada pada setiap individu. Mengutarakan perasaan di media sosial, mengungkapkan pendapat, sampai mengomentari apa saja yang diunggah pengguna lain menjadi kebebasan yang hakiki dewasa ini. Kegiatan seperti itu menjadi bagian dari eksistensi individu, yang merupakan dampak dari kebebasan yang dimiliki.

            Eksistensi menjadi bagian dari keterbebasan dan menjalar menjadi kewajiban bagi setiap insan. Sejatinya manusia merupakan pribadi yang otonom, berdiri sendiri. Dalam hal ini tindak tanduk yang ada menjadi keputusan sendiri. Hal ini menjadikan setiap individu bebas untuk memilih apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginkan. Namun di tengah kebebasan yang mengelilingi, bukankah kebebasan itu sendiri yang harusnya dipertanyakan?

            Hidup berdampingan dengan kebebasan menjadikan tidak ada yang benar-benar bebas. Tanpa disadari teknologi yang diciptakan guna mempermudah kegiatan, menjelma menjadi ajang merajang diri dengan menuhankan eksistensi sebagai pedoman sehari-hari. Kian banyak terlihat, kian puas. Kebebasan yang dikendaki akan semakin mengikuti standar orang lain. Kebebasan yang ideal hanya menjadi angan tanpa pernah tergapai. Semakin dicari tahu apa itu kebebasan, semakin abstrak apa yang disebut bebas. Sejatinya tidak ada bentuk absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.

            Namun, tidak semua menyadari akan adanya batasan kebebasan. Selain menjadi abstrak, kebebasan di tengah derasnya teknologi juga menjadi bias antara humanis dan adab. Contoh sederhana ketika ada seseorang yang unggahan di sosial medianya terlalu mengumbar suasana hatinya. Banyak yang menyebut orang-orang seperti ini dengan sebutan toxic people. Orang seperti ini mengakibatkan bias. Di sisi lain beliau mempunyai hak untuk bebas menggunggah di sosial media pribadinya. Namun, anggapan bahwa kebebasan yang beliau punya dapat mengganggu orang lain merupakan bentuk dari tidak adanya kebebasan yang hakiki di dunia ini.

            Toxic people dapat terjadi pada siapa saja. Disadari atau tidak, amigdala yang ada di otak manusia mampu merangsang itu semua. Bagian organ yang terletak di otak ini mampu membajak emosi manusia dan dapat mengakibatkan respon berlebih, tidak sesuai dengan dampak yang dikeluarkan pada keadaan seharusnya. Tidak menutup kemungkinan setiap orang dapat menjadi toxic people. 

            Selain setiap orang berpeluang, kebebasan yang berlebihan ini dapat terjadi di mana saja. Paling berpengaruh besar untuk melakukan hal tersebut adalah lingkungan pribadi masing-masing. Bukan rahasia umum lagi jika lingkungan dapat mempengaruhi segalanya karena lingkungan menjadi bagian yang paling dekat dengan setiap individu. Maka dari itu, penting menjaga atmosfer lingkungan yang baik agar kebebasan tidak disalah artikan.

            Bias dalam hal kebebasan dapat terjadi salah satunya karena kurangnya pemahaman personal pada individu yang satu dengan yang lain. Jika setiap orang paham betul bahwa hak kebebasan merupakan anugerah yang harus dijaga dengan baik, maka bias tidak akan terjadi. Keseragaman pemahaman menjadi kunci untuk diri sendiri dan orang lain.

            Keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk bebas harus dimiliki setiap orang. Jika hal ini tidak ada, menyebabkan setiap orang dapat menganggap rendah orang lain. Keyakinan ini tidak lahir dengan sendirinya. Perlu dibentuk bahwa bebas milik setiap orang dan kebebasan dapat terbatas demi kebebasan itu sendiri. Kesadaran ini tidak berdiri sendiri melainkan harus dibangun dari setiap individu. Penting bagi setiap individu memahami nilai kebebasan itu sendiri karena kebebasan sebagai nilai yang esensial dalam kehidupan manusia akan terancam dengan adanya pemaksaan suatu pandangan khusus tentang kehidupan yang baik bagi setiap orang dan ilmu akan menolong manusia dalam memahami dirinya sendiri.

            Toxic people dapat dihindari dengan pemahaman misalnya dengan prinsip bahwa kebahagiaan orang lain tidak dapat disama ratakan. Dengan cara seperti itu, si pembaca yang melihat unggahan tidak merasa terganggu karena mempunyai ilmu. Pengunggah juga mempunyai kebebasan untuk mengunggah dengan syarat tidak merugikan orang lain. Kesepahaman seperti ini menghasilkan toleransi yang merupakan dampak dari kebebasan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun