Mohon tunggu...
Laura Magvira
Laura Magvira Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Pecinta bakso dan kata. LinkedIn: Laura Magvira. Instagram: lauramgvra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Carut Marut Media, Mahasiswa Bisa Apa?

30 Oktober 2020   14:21 Diperbarui: 30 Oktober 2020   14:26 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

            Kita tahu bahwa bumi kita tidak sedang baik-baik saja. Sejak akhir tahun 2019 kita dihadapkan dengan pandemi covid-19. Virus yang diduga berasal dari Wuhan, Cina ini mampu melumpuhkan aktivitas kita sehari-hari yang tadinya di luar ruangan menjadi di dalam ruangan. Banyak sektor ekonomi dibuat sakit kepala oleh benturan keadaan pandemi. Minimnya  tenaga kesehatan juga banyak yang berakhir di dalam tanah untuk menahan kesakitan diri sendiri karena kelelahan. Beragam cara dilakukan pemerintah agar virus korona berakhir. Melansir Liputan6, Malaysia menerapkan kebijakan lock down nasional lalu ada Vietnam yang membuat  bilik disinfektan. Hal ini menandakan bahwa ada urgensi kebijakan yang dilakukan dalam upaya membuat keadaan kembali pulih.

            Perang dalam melumpuhkan pandemi covid-19 ini harus dilakukan oleh semua pihak, tidak terkecuali media. Meskipun yang kita punya sekarang hanya jarak, tidak menyurutkan para penggiat informasi di media untuk berjarak dalam menyajikan berita. Media sebagai alat kontrol sosial dan sebagai penyambung tali pengetahuan para pembaca, memiliki peranan yang sangat penting. Informasi yang tersebar luas menjadi santapan lezat para penggerak media dalam menyebarkan berita. Bersahabat dengan kode etik jurnalistik, keberadaan media diharapkan menjadi angin segar guna menjalani peradaban yang ada. Salah satu peran media yang sangat terasa pada saat pandemi adalah menyebarkan pengetahuan. Unggahan tentang sejarah pandemi yang melanda dunia selama ini, hadir di tengah-tengah kita. Kita juga dapat berselancar di internet menggunakan kata kunci "Panduan Menjaga Kesehatan Mental Selama Pandemi Korona Versi WHO", salah satunya dimuat di media Tirto.id. Ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa peran media untuk memberikan pengetahuan benar-benar ada.

            Seperti konsep dalam filosofi Tionghoa yaitu Yin dan Yang. Media juga mempunyai kelemahan salah satunya tingkat hoaks yang cukup tinggi. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak media yang tidak kredibel. Terlihat dari kasus hoaks yang tersebar luas. Dilansir dari laman Kominfo, Kementerian Komunikasi dan Informasi mencatat ada 800.000  kasus hoaks di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa media sudah carut marut.

Melansir Merdeka.com, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus menyampaikan, terjadi peningkatan jumlah kasus penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian di masa pandemi Covid-19. Yusri mencatat sepanjang Maret 2020 hingga April 2020 menerima setidaknya 443 laporan berkenaan dengan ujaran kebencian atau berita bohong alias hoaks. Yusri merinci dari 443 laporan yang diterima, 14 diantaranya diungkap Polda Metro dan Polres Metro jajaran dengan menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Hal ini merupakan indikasi bahwa peran media sebagai alat control sosial masyarakat masih rendah. Dilansir dari Kompas.com dengan judul "Kemenkominfo: Hoaks di Masa Pandemi Covid-19 Persoalan Serius", Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kemenkominfo) Henri Subiakto mengatakan, masih banyaknya hoaks di masa pandemi Covid-19 merupakan persoalan serius. Henri mengatakan, sebelumnya WHO telah mengatakan bahwa yang dihadapi dunia saat ini tidak hanya pandemi Covid-19 sebagai penyakit tetapi juga informasi seputar pandemi itu sendiri yang membuat berat. Jika sudah begini, beban untuk menangani pandemi akan bertambah dan salah satu dampak terbesar dari berita hoaks adalah kematian.

            Salah satu hoaks yang terkenal di lingkungan masyarakat adalah penanganan korona hanya dengan memakan bawang putih panggang. Melansir CNN Indonesia dengan judul artikel "Cara Indonesia Hadapi Corona: Bawang Putih dan Obat dari NTT". Media tersebut hanya mewawancarai pasien yang sembuh dan perwakilan pemerintah NTT tanpa adanya konfirmasi dari ahli kesehatan. Hal tersebut kurang tepat karena hanya mewawancarai salah satu pihak saja. Pasal 1 dalam kode etik jurnalistik yang berisi : Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
dilanggar pada berita tersebut yang menyebabkan ambigu terhadap  pembaca. Hal ini merupakan salah satu indikasi dari carut marut media yang ada di Indonesia.

Mahasiswa sangat erat dengan julukan "Agen Perubahan". Bergandengan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, maha dari segala siswa ini diharapkan mampu memberikan amunisi peradaban di tengah kehidupan yang kian nestapa. Bergelut dengan masalah dan dituntut untuk berkawan dengan pemecahan masalah, the agent of change kerap ikut andil dalam isu yang sedang marak diperbincangkan salah satunya tentang berita hoaks yang tersebar di media.

            Di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa media dan mahasiswa saling berhubungan setiap harinya. Ditambah dengan rata-rata umur mahasiswa yang memasuki generasi X, Y, dan Z yangmana kita tahu merupakan generasi yang sudah melek teknologi. Sebagaian besar mahasiswa pasti mempunyai gawai untuk menunjang aktivitas sehari-hari, baik untuk mengais validasi maupun mengais informasi. Hal tersebut pasti terjadi karena sejalan dengan keadaan yang ada sekarang ini. Di mana informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat bahkan hanya dalam hitungan detik. Namun mirisnya, simbol sebagai agen perubahan tidak dibarengi dengan pengetahuan literasi digital yang mempuni.

            Selama pandemi masyarakat lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Terbukti dari platform Netflix sebagai penyedia layanan yang memungkinkan pengguna untuk menonton di mana pun dan kapan pun mampu mengalahkan bioskop sebagai penyedia layanan menonton film yang digemari masyarakat selama ini. Kebiasaan normal baru setelah pandemi melanda, menuntut setiap orang untuk menatap layar secara terus menurus selain untuk bekerja juga untuk mendapatkan informasi. Salah satu informasi yang mudah diakses khususnya mahasiswa terdapat dari aplikasi WhatsApp. Hanya dengan bermodalkan pesan diteruskan, pengguna bisa langsung mempercayai. Pemikiran kritis yang ada disetiap mahasiswa atau pengguna dalam menyaring informasi, harusnya mampu menjadi tameng dalam penyebaran informasi palsu namun nyatanya sia-sia. Banyak mahasiswa yang terkenal dengan agen perubahan, hanya mampu menjadi perubahan untuk sekadar meneruskan pesan singkat yang diterima di ruang obrolan WhatsApp. Di tengah media yang carut marut, mahasiswa bisa apa?

            Jawaban pasti ada ditindakan setiap insan. Mahasiswa jangan mengikuti fenomena latah yakni menyebarkan berita yang belum jelas keabsahannya, tetapi harus meningkatkan minat literasi digital yang dilakukan dari diri sendiri. Salah satu caranya dengan giat memahami informasi. Ketika kegiatan memahami sudah dilakukan akan timbul pemikiran yang kritis. Hal ini akan menggiring mahasiswa untuk bertindak pada kebijakan dalam mengelola informasi. Berita yang hanya sebatas pesan diteruskan tanpa  adanya sumber yang jelas pasti tidak akan disebar ke pengguna lain jika sudah mempunyai critical thinking, karena tahu bahwa berita tersebut belum valid. Kegiatan semacam ini terlihat sepele tapi akan berdampak besar dalam menaggulangi hoaks yang beredar. Jika melatih kegiatan berpikir kritis dilakukan secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin mahasiswa yang terkenal menjadi agen perubahan tidak hanya membawa perubahan tapi akan membawa kemajuan peradaban terutama dalam menghadapi bonus demografi yang akan melanda Indonesia.

Sumber Referensi:

https://tirto.id/kode-etik-jurnalistik-8Nb (dilansir pada tanggal 09 Oktober 2020)

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200511172742-255-502204/cara-indonesia-hadapi-corona-bawang-putih-dan-obat-dari-ntt/ (dilansir pada tanggal 09 Oktober 2020)

https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-hoaks-dan-ujaran-kebencian-meningkat-selama-pandemi-covid-19.html (dilansir pada tanggal 09 Oktober 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun