Manusia kerap disandingkan dengan kenestapaan. Prinsip konvensi yang ada di lingkungan sosial menjadi ajang bergengsi untuk meraih validasi di universitas kehidupan.Â
Validasi yang diperoleh dapat menjadi pilar semangat agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya. Namun, perlukah memajang diri dengan validasi di universitas kehidupan? Apa dampak yang ditimbulkan jika hal itu terjadi? Hidup ini akan merajang atau sebaliknya?
Di universitas kehidupan ini kita hadir dan pulang bersama ketetapan. Kehadiran, selalu kita rayakan. Lihat saja sebuah kelahiran, banyak senyum yang terkumpul bukan?Â
Lain hal dengan pulang atau kepergian, banyak yang membubarkan tanpa pernah bermaksud mengadakan. Menuju keabadian memang menjadi momok menakutkan, namun perlu diingat bahwa memajang diri sebaik mungkin merupakan pelajaran terpanjang yang harus kita lalui.Â
Nanti hasil yang akan kita dapat lebih dari sebuah pencapaian, ada peradaban yang menunggu untuk dituliskan. Memajang diri bukan sekadar mengagungkan validasi.Â
Lebih dari itu, menjadi versi terbaik dari setiap aspek kehidupan tanpa berpikir imbalan merupakan bagian dari memajang diri. Peningkatan kualitas hidup secara kontinu akan mempengaruhi cara seseorang untuk mati atau menghadapi kematian.
Kita dapat melakukan banyak kegiatan agar memajang diri selama hidup dapat memberi pengaruh yang pekat setelah kematian datang. Hal ini dapat dimulai dari sekarang, ya setelah membaca artikel ini dapat diterapkan.Â
Mulailah dari diri sendiri, jangan takut. Bukankah jalan menuju keabadian dilakukan sendiri juga? Mulailah dari diri sendiri dengan semangat akan perubahan lalu selanjutnya dapat diterapkan di lingkungan terdekat.Â
Layaknya pepatah gading mati meninggalkan gading kita yang telah dianugerahkan kehidupan harus meninggalkan jejak peradaban agar dapat berguna untuk kehidupan yang akan datang.Â
Dalam video di kanal youtube Alijoyo Channel dengan judul Story of Life -- Bagaimana kita ingin dikenang, ada beberapa poin penting agar kita dapat memajang diri sebaik mungkin agar tetap dikenang ketika kematian datang.
Hal mendasar yaitu nilai luhur apa yang diyakini? Mulailah bertanya terhadap diri sendiri apa yang sudah dihasilkan di hidupmu? Sudahkah menghias muka kota dengan kegiatan yang bermanfaat? Atau mungkin selama ini sudah merobek harapan orang lain tanpa kita sadari?
Apa yang kita wariskan akan berkesinambungan dengan ingatan orang lain terhadap diri ini. Kita semua hidup dengan karunia berlimpah salah satunya potensi diri. Â Potensi diri akan menolong, terutama personal branding untuk memajang diri.Â
Mulailah mengembangkan potensi diri agar dapat memajang diri secara maksimal. Jika belum mengetahui potensi yang ada, mulailah melakukan apa saja yang disukai lalu memikirkan progres apa yang ingin dicapai.Â
Misalnya suka membaca buku dan ingin menjadi penulis, mulailah menulis tanpa pernah memikirkan siapa yang akan melihat karyamu. Ingat, hidup ini bukan perihal terlihat tapi perihal menjadi.
Ketika semua hal baik sudah kita jalankan, pertanyaan terakhir yaitu apakah nanti ketika hidup bersama kematian kita akan dirindukan?Â
Tidak ada jawaban pasti, namun yang terpenting berikan yang terbaik pada setiap peluang di universitas kehidupan ini. Ingat, kita akan dikenang "A" bila kita menjalankan "A" lalu meminta dan memerintah orang lain seperti apa kita ingin dikenang merupakan suatu kemuskilan. Pada akhirnya hidup ini tentang memajang diri, bukan merajang diri.
***
Artikel ini merupakan Juara 2 lomba LAPAVA (Lomba Penulisan Alih Wahana Video ke Artikel) yang diadakan oleh Narabahasa dengan Alijoyo channel. Ditulis oleh Laura Magvira, mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang.
***
Artikel ini telah dimuat di koran Radar Karawang pada tanggal 02 September 2020 dengan judul yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H