Sebuah kehormatan bagi saya mendapat undangan dari PT Telkom Indonesia Tbk, guna menghadiri peluncuran program “Kampung UKM Baduy Goes to Digital” di Ciboleger, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (19/8) kemarin.
Selaku penggiat UKM, saya diundang dalam kapasitas menjadi saksi kesuksesan Telkom merealisasikan program membangun 300 kampung digital. Dan, Ciboleger adalah kampung ke-300 dari sekian banyak kampung digital yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dipilihnya Ciboleger sebagai tonggak Kampung UKM Digital ke 300, karena kampung ini istimewa, demikian sambutan Direktur Enterprise & Business Service Telkom Muhammad Awaluddin. Ciboleger mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda, yakni masyarakat modern dan suku Baduy.
Selesai acara, sahabat saya itu memenuhi janjinya mempertemukan saya dengan orang yang dimaksud. “Beliau dulu Baduy dalam dan punya kedudukan tinggi di dalam suku. Hanya saja karena melanggar adat, dia dihukum harus keluar dan menjadi Baduy Luar,” jelas sahabat saya.
Untuk sampai ke rumahnya, kami harus berjalan kaki sejauh hampir 1 kilometer karena transportasi modern tidak diperbolehkan masuk. Sungguh sebuah perjuangan yang melelahkan. Hidup memang berat, tapi demi sebuah ilmu pengetahuan apa artinya berjalan-kaki sepanjang 1 kilometer. Yang jelas, kaki pada lecet-lecet dan pegel semua.
“Oh ya, jangan sekali-kali memanggil mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Rawayan. Mereka gak suka. Panggil saja Urang Kanekes ya,” sahabat saya mengingatkan. Lama-lama bawel juga nih guide. Mirip ibu-ibu deh...
Orang yang kami temui itu bernama Pak Sakmin. Umurnya sekitar 70-an. Seperti kebanyakan Orang Baduy yang saya temui di acara tadi, Pak Sakmin lebih banyak diam tak banyak omong. Ada sebuah sikap dalam tradisi budaya Orang Baduy, yakni menutup diri atau sengaja tutup mulut apabila ditanya. Kalau pun harus menjawab pertanyaan mereka biasanya hanya mengatakan: “teu wasa” (tidak memiliki kuasa). Tapi berkat “kepintaran” si Guide lah yang membuat beliau mau bicara tentang Baduy.
Menurut Pak Sakmin, Orang Baduy adalah orang Sunda yang sesungguhnya. Dalam keyakinan Sunda Wiwitan tertanam sebuah pemikiran bahwa mereka Orang Sunda yang sesungguhnya, dibandingkan dengan Orang Sunda di luar Kanekes yang telah beralih menjadi penganut Islam. Dalam mitologi Kanekes, di Bumi Kanekes lah awal kelahiran mandala Sunda.
Sesuai strata sosialnya, Baduy Dalam (yang lebih suka disebut dengan “Urang Kanekes”) mendiami tiga kampung yang disebut Telu Tangtu (tiga kepastian), yaitu Cibeo sebagai Tangtu Parahiyang; Cikartawana sebagai Tangtu Kadu Kujang; dan Cikeusik sebagai Tangtu Pada Ageung. Telu Tangtu inilah yang menjadi sistem sosial kemasyarakatan Urang Kanekes. Penduduk Tangtu adalah kelompok elite sesuai kasta dalam strata sosial mereka. Dari kalangan mereka pula diambil para pejabat inti pemerintahan tradisional.