Berawal dari sebuah komunikasi via email, setelah tahu saya tinggal di Kota Cilegon, Banten, seorang sahabat yang berkewarganegaraan Jerman bertanya: “Apa kamu mengenal seorang tokoh Islam bernama Ali Jaya?”
Menurutnya, nama yang ia sebutkan itu sangat berjasa besar bagi kehidupan kakeknya. Ia mengetahuinya dari catatan diary sang kakek. Kakeknya dulu seorang ekspatriat yang membangun sebuah pabrik di Cilegon sekitar tahuan 70-an, sampai kemudian bertemu dengan figur kiai tersebut. Entah hubungan seperti apa antara keduanya, hingga sang kakek meninggal, dalam catatan diarynya banyak menyebut nama “Pak Kiai” (demikian ia memanggil) sebagai sumber inspirasinya memahami Islam dan spiritualisme.
Saya pun akhirnya membuka-buka literatur tentang tokoh-tokoh kiai yang ada di kotaku. Tak banyak saya menemukan nama Ali Jaya dari literatur yang saya dapatkan, selain disebutkan disitu bahwa bersama KH Syam’un, KH Ali Jaya adalah pendiri perguruan Islam Al-Khaeriyah.
Saya pun berusaha mewawancarai beberapa keturunan Pak Kiai, karena lama kelamaan jadi tertarik juga mempelajari sikap hidupnya yang qana’ahakan tetapi memiliki semangat juang yang membara dan tak kenal kata menyerah.
Di tahun 1931, Ali Jaya mendirikan organisasi Jam'iyah Nahdotus Syubbanul Muslimin, sebuah organisasi pergerakan pemuda setingkat Budi Utomo di tingkat nasional. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan pendidikan Islam. Berdirinya Syubbanul Muslimin menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan melalui pendidikan Islam. Dalam perkembangannya, organisasi inilah justru yang menjadi cikal bakal modernitas perguruan Islam di Banten.
Bahkan, dalam desertasinya untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dr Maftuh menyebutkan: salah satu pendidikan Islam yang berkontribusi besar terhadap perkembangan Islam masyarakat Banten adalah perguruan Islam Al-Khaeriyah. Berdiri pada tanggal 25 Mei 1925, dimana partisipasi pendidikan masyarakat Banten sangat memprihatinkan saat itu.
Di masa itu, orang Banten enggan menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah yang didirikan kolonial belanda. Akibatnya masyarakat banten pada umumnya mengalami buta huruf latin yang sangat tinggi (95,25%). Bahkan disinyalir anatara lahun 1920-1930 tingkat pendidikan masyarakat Banten paling rendah di seluruh Indonesia.
Melihat kondisi masyarakat Banten yang sangat meprihatinkan, KH Ali Jaya merubah sistem pendidikan pesantern yang didirikannya bersama KH Syam’un itu. Ia mulai memasukkan ilmu-ilmu umum dalam kurikulum pendidikannya. Dan ini merupakan langkah berani dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh perguruan-perguruan Islam lainnya di seluruh Indonesia.
Ilmu-ilmu umum yang diajarkan di madrasah Al-Khaeriyah kala itu antara lain: ilmu aljabar, ilmu hayat, ilmu bumi, ilmu kosmografi dan ilmu sejarah. Selanjutnya, terobosan yang dilakukan KH. Ali Jaya pun semakin melesat dengan mendirikan HIS (Holland Inlandsche School) yang berbasiskan ilmu-ilmu umum dengan tetap memperbanyak pelajaran agama Islam (al Qur’an, Tafsir, Hadist). Pada saat itu, Al-Khaeriyah tercacat sebagai lembaga pendidikan Islam termodern di Banten, bahkan se-Indonesia.
Sayang, pada generasi selanjutnya, perguruan Islam yang mempelopori modernitas dalam pendidikan Islam di Indonesia itu harus mengalami konflik perpecahan di tingkat pengurusnya. Pada Muktamar tahun 1975, lembaga itu harus terbelah menjadi dua. Masing-masing saling menggugat di meja hijau karena masing-masing pihak merasa berhak mengurus lembaga ini. Nama-nama orang yang ikut andil dan berjasa membangun lembaga pendidikan ini perlahan tenggelam atau ‘ditenggelamkan.’
Demikian juga halnya yang menimpa KH Ali Jaya.
Nah, kembali kepada sahabat saya orang Jerman yang bertanya itu. Ketika saya menceritakan tentang sosok KH Ali Jaya yang saya ketahui dari referensi dan hasil wawancara dengan keturunannya, dia hanya meminta agar saya menyampaikan rasa terima kasih atas nama keluarganya kepada siapapun keturunan ‘Pak Kiai’. Apa yang dahulu pernah dilakukan kepada kakeknya sangatlah berarti. Dan keinginan mengucapkan terima kasih itu adalah wasiat terakhir sang kakek menjelang meninggalnya.
Apa sesungguhnya yang dilakukan KH Ali Jaya kepada orang Jerman itu, tak ada seoranpun yang tahu, termasuk anak cucu keduanya. Tapi yang jelas, itu pasti sebuah kebaikan yang bernilai tinggi, sehingga saya perlu menuliskannya. Agar sejarah tidak tenggelam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H