“Nah, kalau Ibu dari mana?”
“Kamu ini gimana sih Din? Aku kan Bi Nah, pembantu juga disini.”
“Hehe... Maap, Bi Nah.”
Udin jadi geli sendiri. Geli karena walaupun dia hanya seorang pembantu, dalam sepengetahuannya, THR atau Tunjangan Hari Raya seharusnya diberikan oleh seorang bos kepada pekerjanya. Lha, ini kok orang-orang yang 'berpangkat' yang meminta....
Lagian, agama manapun tak ada yang mengajarkan umatnya untuk jadi peminta-minta.
***
Malamnya, setelah penat seharian bekerja melayani tamu bosnya yang antri meminta THR, udin melonjorkan tubuhnya di pembaringan. Terbayang wajah istri dan kedua anaknya di kampung yang sampai saat ini belum terbeli baju lebaran.
Lebaran tinggal seminggu lagi. Pasti istrinya sedang menunggu kepulangannya membawa duit THR untuk membeli baju lebaran di pasar kecamatan. Udin resah membayangkan wajah kedua anak perempuannya yang sedang merengek-rengek meminta dibelikan baju lebaran.
Matanya tak juga terkatup. Kesedihan menjalari sekujur tubuhnya. Membayangkan wajah istri dan kedua anaknya yang tak berbaju lebaran. Tuhan, mengapa Engkau turunkan lebaran? Lebaran hanya sehari, tapi mengapa orang harus bersusah-payah untuk ‘pesta sehari’ itu?
Meminta THR kepada bosnya? Udin tak kan pernah berani. Semenjak kecil, emaknya selalu berpesan, “Din, walaupun kita miskin, jangan pernah sekali-sekali kamu meminta-minta. Lebih baik kita hidup bersahaja dari pada menghinakan diri.”
Tak terasa, air mata Udin menitik. Bayangan wajah emaknya bergonta-ganti dengan wajah kesedihan kedua putrinya.