Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

THR

30 Juni 2016   01:12 Diperbarui: 30 Juni 2016   01:25 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Nah, kalau Ibu dari mana?”

“Kamu ini gimana sih Din? Aku kan Bi Nah, pembantu juga disini.”

“Hehe... Maap, Bi Nah.”

Udin jadi geli sendiri. Geli karena walaupun dia hanya seorang pembantu, dalam sepengetahuannya, THR atau Tunjangan Hari Raya seharusnya diberikan oleh seorang bos kepada pekerjanya. Lha, ini kok orang-orang yang 'berpangkat' yang meminta....

Lagian, agama manapun tak ada yang mengajarkan umatnya untuk jadi peminta-minta.

***

Malamnya, setelah penat seharian bekerja melayani tamu bosnya yang antri meminta THR, udin melonjorkan tubuhnya di pembaringan. Terbayang wajah istri dan kedua anaknya di kampung yang sampai saat ini belum terbeli baju lebaran.

Lebaran tinggal seminggu lagi. Pasti istrinya sedang menunggu kepulangannya membawa duit THR untuk membeli baju lebaran di pasar kecamatan. Udin resah membayangkan wajah kedua anak perempuannya yang sedang merengek-rengek meminta dibelikan baju lebaran.

Matanya tak juga terkatup. Kesedihan menjalari sekujur tubuhnya. Membayangkan wajah istri dan kedua anaknya yang tak berbaju lebaran. Tuhan, mengapa Engkau turunkan lebaran? Lebaran hanya sehari, tapi mengapa orang harus bersusah-payah untuk ‘pesta sehari’ itu?

Meminta THR kepada bosnya? Udin tak kan pernah berani. Semenjak kecil, emaknya selalu berpesan, “Din, walaupun kita miskin, jangan pernah sekali-sekali kamu meminta-minta. Lebih baik kita hidup bersahaja dari pada menghinakan diri.”

Tak terasa, air mata Udin menitik. Bayangan wajah emaknya bergonta-ganti dengan wajah kesedihan kedua putrinya.

Malam pun semakin larut. Menyatu bersama kesedihan Udin.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun