18 tahun yang lalu, tepatnya 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, semua perhatian tertuju ke credentials room di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam pidato yang singkat, Soeharto antara lain mengatakan, “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.”
Angin kencang semenjak pertengahan 1997 telah menggoyang kekuasaan Orde Baru. Angin kencang yang diakibatkan krisis ekonomi. Krisis yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi berkepanjangan di berbagai bidang.
Pada akhir Januari 1998 tercatat, nilai rupiah terpuruk di angka Rp 11.050. Krisis bahan pokok juga terjadi. Pengangguran makin meningkat, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. Krisis berlanjut, yang menyebabkan 16 bank harus ditutup.
Rakyat pun menuntut perubahan kepemimpinan. Wacana reformasi bergulir, bermula dari diskusi dan aksi di dalam kampus, hingga akhirnya demonstrasi terbuka yang dilakukan mahasiswa di jalan raya. Bak api tersiram bensin, demonstrasi mahasiswa semakin membesar setelah terjadi penembakan terhadap mahasiswa di depan Universitas Trisakti. Penembakan yang terjadi pada 12 Mei 1998 itu menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Budayawan Emha Ainun Nadjib turut menjadi saksi dalam pusaran arus perubahan kekuasaan 1998 itu. Cak Nun adalah salah satu tokoh yang dengan lantang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.
Pada 19 Mei 1998, bersama 9 tokoh masyarakat lainnya; Abdurrahman Wahid, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Prof Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin, Cak Nun menemui Presiden Soeharto guna menyampaikan presiden harus mundur.
Dalam pandangan Cak Nun, pertemuan itu hanyalah basa-basi. Ibarat pengantin, itu sekadar resepsinya, sedangkan akadnya sudah duluan. Karena tanggal 18 malamnya, Pak Harto sudah mengambil keputusan akan lengser.
Masalah yang tersisa adalah tidak tersepakatinya formula peralihan kekuasaan. Itu yang menjadi salah satu sebab kenapa akhirnya reformasi 1998 itu bukan hanya gagal dan omong kosong, tapi juga palsu, bergelimang kemunafikan yang sangat menjijikkan.
Kalau disebut sesuatu yang istimewa, mungkin apabila Presiden Soeharto yang menurut prediksi dunia harusnya diseret turun dengan dosa-dosa nasionalnya yang menggunung. Atau presiden mestinya lari ke luar negeri dan minta suaka, kemudian kelak meninggal di pengasingan dan dikubur di tanah kutukan seluruh rakyat Indonesia.
Tapi Soeharto hidup tenteram di Cendana, menyirami kembang, momong cucu, merokok klobot dan terus tersenyum kepada langit dan bumi. Tidak ada demo kaum aktivis ke Cendana, dan warisan-warisannya yang terkutuk, misalnya TMII dan 5.000 masjid Amal Bakti Pancasila tidak dibakar, diambrukkan, atau dimusnahkan.
Bagaimana sebenarnya bunyi formula peralihan kekuasaan yang diajukan itu?
Sebelumnya, pada 16 Mei 1998, bersama Cak Nur (almarhum Nurcholish Madjid), Malik Fadjar, Utomo Dananjaya, dan S. Drajat, Cak Nun merumuskan bahwa reformasi adalah pergantian kekuasaan total. Pak Harto turun dengan seluruh jajaran kabinetnya. MPR dan DPR bubar, kemudian membentuk Komite Reformasi, terdiri atas 45 tokoh reformis.
Komite Reformasi itu akan secara darurat menjadi MPR sementara, yang bertugas mengangkat kepala negara sementara dan menugasinya untuk membikin pemilu paling lambat setahun sesudah Pak Harto lengser. Di antara 45 anggota Komite Reformasi itu ternyata ada tiga tokoh Orba: Akbar Tandjung, Jenderal Wiranto, dan Pak Harto sendiri, yang berseberangan melawan 42 orang lainnya.
Dari pertemuan itu tersiar kabar, jika militer telah menyebar 16 bom di jalan-jalan sekeliling Istana dan pom bensin. Bom akan diledakkan saat Soeharto benar-benar dijatuhkan, bukan berhenti atas keinginan pribadi. Bom juga diletakkan di tol dan jalan menuju Istana, untuk menutup akses bagi siapapun, dan akhirnya militer ambil kekuasaan.
Cak Nun memaparkan bom tersebut berdaya ledak cukup tinggi dengan detonator dipegang oleh seorang tentara yang bergerak dalam sebuah tank. Komando peledakan ada di bawah wewenang seorang jenderal bintang dua dari kelompok TNI tertentu.
Soeharto sebenarnya sudah tidak lagi peduli dengan jabatannya, dan legawa akan melengserkan diri. Tidak jadi presiden pun tidak patheken ungkapnya.
Soeharto juga mengatakan bahwa demonstrasi mahasiswa tidak sedikitpun menggetarkan dirinya. Dia menganggap mahasiswa-mahasiswa itu tidak tahu apa-apa, dan ada yang mengerahkan. Dia bergetar kala tahu rakyatnya mulai bertindak anarkis dan menjarah bahkan membunuh. Saat itu, Soeharto mengakui jika ia merasa telah gagal sebagai pemimpin.
Beruntung pertemuan itu berlangsung dengan cair, sehingga tidak ada perintah komando agar si tentara itu menekan tombol detonator. Bom yang jika meledak akan dapat merubah sejarah reformasi pada bangsa ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI