Aldi Ibrahim, paling kanan (Sumber Foto: Dokpri)
Saya pernah menyaksikan sebuah lomba debat tingkat SLTA yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Banten beberapa waktu yang lalu. Sewaktu menyaksikan lomba tersebut, ada penampilan seorang peserta yang cukup mencuri perhatian Saya. Kalau tidak salah, nama anak itu Aldi Ibrahim dari SMKN 1 Cilegon.
Gaya anak itu sudah mirip dengan politisi tingkat nasional dalam menyampaikan materi debatnya. Tersistematis, memiliki kontrol diri yang bagus, dan memiliki gestur tubuh yang mampu menghipnotis lawan debat atau juri sekali pun sehingga ikut mendukung teorinya.
Yang menarik, anak itu sering menyampaikan gagasan pemikiran yang out of the box. Kadang agak sedikit konyol tapi cukup menggelitik pemikiran juri maupun yang menyaksikan lomba tersebut. Tak heran dia sering mendapatkan applause setiap dia memaparkan teorinya.
Misalnya, ketika dia menginterpretasikan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Di pasal itu disebutkan bahwa tanah dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Permasalahannya, di dalam pasal UU tersebut hanya disebutkan kalimat “tanah dikuasai negara” tapi tidak disebutkan “dikuasai oleh negara mana”, demikian argumen Aldi yang sempat membuat lawan debatnya terdiam tak mampu berkata-kata dan mengundang applause dari hadirin.
Makanya ketika membaca berita polemik seputar kalimat “tanah dikuasai negara” antara Yusril Ihza Mahendra dengan Pemprov DKI dan Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional soal klaim "tanah negara", Saya kembali teringat dengan materi debat dalam lomba itu.
"Bumi air dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara tidak memiliki, dia (hanya) menguasai, dia ngatur," kata Yusril saat berbicara di hadapan puluhan warga Bidaracina. "Lalu bagaimana Pak Ahok bilang itu tanah milik negara. Kapan negara punya tanah, capek saya belajar hukum, belum pernah tahu negara itu punya tanah."
“Bahwa negara menguasai tanah betul, tapi negara tak memiliki tanah. Bahwa kalau pemerintah mau memiliki tanah, pemerintah juga harus meminta pada BPN,"jelas pakar hukum tatanegara itu lagi.
Pernyataannya Yusril ini jelas membingungkan banyak orang, karena sebelumnya Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ferry Mursyidan Baldan sendiri sudah memastikan bahwa tanah di Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, merupakan lahan milik negara.
Seiring perjalanan waktu, tanah itu dikuasai oleh masyarakat umum sehingga seolah-olah lahan sudah milik masyarakat, demikian menurut Ferry. Oleh karena itu Menteri yang juga sekaligus Kepala BPN itu mendukung program relokasi warga Luar Batang yang kini dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Terkait pernyataan Ferry itu, Yusril pun mencontohkan bagaimana mulanya ia memiliki sebuah tanah di kampung halamannya. Awalnya, ia meminta kepala desa setempat untuk mengukur dan buat surat keterangan tanah. Selama setahun, ia kemudian menanami dengan singkong. Setelah satu tahun, Yusril mengajukan sertifikat kepada BPN. BPN mengatakan oke, diberi lah hak milik atas tanah itu.
Sama halnya dengan Pemprov DKI, jelas Yusril. Kalau Pemprov DKI ingin membangun sebuah sekolah, karena lahan kosong di Jakarta menurutnya tidak ada, maka Pemprov DKI harus membeli. Kemudian baru mengajukan sertifikat kepada BPN atas nama Pemda DKI. Baik perorangan, pemerintah, ataupun swasta menurut Yusril sama caranya untuk memperoleh tanah.
Pernyataan Yusril yang menyebut tidak ada kepemilikan tanah oleh negara itu tentu saja mendapat sindiran dari kalangan masyarakat luas. Pengamat politik Fadjroel Rachman misalnya, menulis di akun Twitter-nya, @fadjroeL, pada Rabu (4/5/2016), mengajak agar warga ramai-ramai menduduki lahan kawasan Monas. "Send ah ke om @Yusrilihza_Mhd hihi saya juga mau tinggal di Monas karena bukan tanah negara, eh di Kampung Pulo :) https://t.co/s8TsY38NtR."
Fadjroel juga me-retweet kicauan-kicauan dari akun-akun lain berisi hal yang sama, seperti kicauan dari akun @besmartyk yang berbunyi, "Ayo tinggal di monas rame2. Kalo ditangkap tuntut @Yusrilihza_Mhd . tdk ada tanah negara. @basuki_btp @fadjroeLhttps://t.co/M6uq1IMBHg."
Ada pula kicauan dari akun @hilaz_28, "@besmartyk @fadjroeL @Yusrilihza_Mhd @basuki_btp ayo kita bikin rumah deket Istana merdeka!" Sementara itu, pengguna akun @AdutSuradut1 menulis, "Wah ko begitu ya, jd boleh dong tinggal di bantaran sungai, bantaran rel KA, tp knp pedagang2 pd digusur :) @fadjroeL @Yusrilihza_Mhd".
Nah, Saya berandai-andai, jika saja pakar hukum tatanegara yang pernah menjadi pembela terpidana korupsi pengadaan Al Qur’an itu harus berhadapan dengan peserta lomba debat SLTA yang Saya ceritakan di atas, mampu kah dia menjelaskan “negara mana” yang dimaksud UU tersebut?
Sumber:
Yusril: Capek Saya Belajar Hukum, Belum Pernah Negara Itu Memiliki Tanah
Sindir Yusril, Fadjroel Ajak Warga Ramai-ramai Duduki Monas
Yusril: Tanah Negara Dikuasai Negara, Bukan Dimiliki
Menteri Ferry Pastikan Luar Batang merupakan Lahan Negara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H