[caption caption="Sumber Gambar: merdeka.com"][/caption]Seorang anak berusia 13 tahun yang sedang bermain basket tanpa sengaja menggelindingkan bola ke arah lapangan tempat upacara sedang berlangsung.
Kalau saja upacaranya cuma upacara sekolah senin pagi, paling-paling si anak dimarahin doang sama gurunya. Tapi bagaimana kalau upacara yang sedang berlangsung saat itu adalah upacara penurunan bendera di markas Kopassus?
Si anak yang apes itu tentu saja didatangi Provost Kopassus yang sedang tugas jaga. Dimaki habis-habisan, dipukul pada perutnya dan disuruh push-up. Kalau saja anak itu mau memberitahukan anak siapa dia, mungkin si provost itu akan berpikir dua kali melakukan tindakan itu.
Bocah 13 tahun itu adalah Haris Khaseli, anak jenderal yang ayahnya pada waktu itu justeru menjabat sebagai Danjen Kopassus-nya, yakni Jenderal (Purn) Agum Gumelar. Demikian kisah si anak jenderal itu seperti ditulis dalam biografi Agum Gumelar “Jenderal Bersenjata Nurani” yang diterbitkan Sinar Harapan.
Sayang sikap si Haris Khaseli ini tidak semua anak jenderal atau anggota keluarga petinggi negeri ini memilikinya.
Heboh siswi SMA di Kota Medan, Sumatera Utara, Sonya Ekarina S Depari memarahi seorang Polwan saat dia ditilang telah membuat geger publik Tanah Air. Sonya yang disetop oleh Polwan yang tengah mengatur lalu lintas, Rabu 6 April 2016, mengancam sambil menunjuk-nunjuk sang Polwan dengan mengaku-ngaku bahwa dirinya anak seorang jenderal.
[caption caption="Sumber foto: kepolink.com"]
Jadi gak heran kalau banyak yang kerap mengaku-ngaku sebagai anak jenderal atau anak pejabat tinggi ketika bermasalah dengan hukum atau ingin mendapatkan apa yang diingininya meski dengan cara yang salah. Aksi ini dilakoni sebagai proteksi diri dengan harapan bisa lolos dari jeratan hukum dan memuluskan ambisinya menghalalkan segala cara.
Dalam dunia usaha misalnya, jika anda kontraktor atau penyedia barang yang sedang mengikuti tender di sebuah instansi, selalu masih terdengar bahwa paket pekerjaan yang anda ikuti ini ‘milik’ keluarga kapolda, ‘milik’ keluarga gubernur, ‘milik’ anak menteri, .... dan anda harus mundur oleh karenanya.
Lha, terus buat apa ditender kalau pekerjaan itu ‘sudah dimiliki’?
Kalau sudah begini, kita mungkin sepakat dengan kalimat Ahok pada disposisi tentang raperda reklamasi DKI: Dimiliki Nenek Lu....!
Dan reformasi ternyata belum bisa merubah pola pikir masyarakat kita. Seseorang yang memiliki kedudukan dan jabatan tinggi masih ditakuti dan mendapat penghormatan berlebihan meski mereka berlaku salah. Masyarakat masih takut dan nrimo menganggap sebagai bagian dari takdirnya. Sebuah kondisi mental yang disebut sosiolog sebagai mental kodok.
Kodok yang diletakkan dalam ember meskipun disiram air panas akan diam sampai mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H