[caption caption="Ridwan Kamil menunjukan bagaimana kontak fisik dengan seorang sopir dalam konferensi pers dirinya yang menampar sopir di Bandung, 21 Maret 2016. Kang Emil membantah informasi tersebut. TEMPO/Aditya Herlambang Putra"][/caption]"Terima kasih Om Ridwan Kamil. Kamu sudah bantu buktikan kalo Ahok masih cukup sopan kok. Sekasar-kasarnya dia, cuma mulutnya yang tajam. Support RK!"
Kata-kata di atas adalah cuitan seorang netizen yang memiliki akun @hariadhi yang saya kutip dari sini dimana netizen tersebut mengomentari kasus tuduhan terhadap Ridwan Kamil yang dilaporkan telah menganiaya seorang sopir angkot.
Aya aya wae netizen teh... Walikota Bandung yang dituduh, mulut Ahok dibawa-bawa.
Seperti yang diberitakan oleh banyak media, walikota yang sering dipanggil Kang Emil ini dilaporkan Taufik Hidayat, 42 tahun, ke Kepolisian Daerah Jawa Barat atas tuduhan penganiayaan. Kasus bermula saat Taufik, sopir angkot ilegal yang sedang menunggu penumpang di shelter bus di alun-alun Kota Bandung, Jumat, 18 Maret 2016, ditegur oleh Kang Emil. Ketika itu pula lah peristiwa dugaan penamparan terhadap Taufik terjadi.
Karuan saja aksi Walikota Bandung ini menuai banyak komentar di medsos. Di antaranya cuitan yang membanding-bandingkan Ridwan Kamil dengan Ahok, Gubernur DKI, di atas. Walaupun saya pribadi bingung juga, lha di mana korelasinya? Kecuali kalau yang ditampar itu sopirnya Pak Ahok. Hehe...
Mungkin yang dimaksud netizen itu adalah kata-kata kasar dan dianggap tidak sopan yang sering keluar dari mulut Ahok, tapi gitu-gitu juga Ahok tidak pernah menganiaya secara fisik orang lain, apalagi sampai menampar sopir angkot.
Semua orang sepakat bahwa sikap dan kata-kata kasar Ahok itu salah. Ahok seharusnya bisa menjaga etika dan etiket. Etika lebih memuat substansi tentang pertimbangan moral, baik dan salah, atau melakukan sebuah tindakan dengan niat untuk kebenaran. Sementara, etiket lebih kepada tata krama, sopan santun, cara bertutur, dan cara bersikap.
Namun, dalam mengomandani kinerja oknum pemerintahannya yang dianggap tidak memiliki niat memikirkan kepentingan publik, belum lagi menghadapi maling dan begal-begal APBD, Ahok dihadapkan pada pilihan sulit dan harus memilih salah satu diantaranya: etika atau etiket.
Dan, Ahok pun memilih etika.
Ridwan kamil sendiri walaupun membantah dia melakukan aksi penganiayaan seperti apa yang dilaporkan Taufik itu. Tapi seperti yang disarikan dari akun Twitter-nya @ridwankamil, Senin, 21 Maret 2016: "Kalau sama preman yang memaksa-maksa warga kayak gitu, saya pasti kasar. Support kota tertib."
Bagi pria yang yang pernah digadang-gadang sebagai pesaing Ahok terkuat pada Pilgub DKI 2017 itu, inilah bagian dari risiko menertibkan. Sopir itu menurutnya sudah jelas membawa mobil dan mengangkut penumpang tanpa izin. “...Melanggar aturan dan enggak bawa STNK. Udah sering saya tertibkan baik-baik, tapi bandel wae. Saya harus bagaimana lagi?" ucapnya.
Baik kata-kata kasar Ahok maupun tindakan kasar Ridwan Kamil itu, dari tinjauan berbagai pakar psikologi, adalah karena dipicu oleh rasa frusrasi pada perilaku sebagian besar masyarakat yang mengabaikan kepentingan publik.
Bagi Ahok: maling ya maling, mosok harus dipanggil malaikat. Demikian juga bagi Ridwan Kamil, dia akan kasar kepada preman yang memaksa-maksa warga dan mengganggu ketertiban umum. Lha, keduanya mirip dong kalau gitu? Terus kenapa harus dibanding-bandingin...?
Hadeeuuh...aya aya wae. Kini saya yang semakin bingung. Yo wes lah, saya akan menampar bantal aja, bobo lagi, setelah tadi terbangun gara-gara si bungsu yang mengganggu ketertiban tidur saya.
Sweet dream ya Bro en Sist ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H