[caption caption="Sumber Gambar: belitung.tribunnews.com"][/caption]
Ada sebuh meme lucu terkait dugaan kasus pencabulan artis Saipul Jamil. Di dalam meme tersebut Saipul digambarkan sedang memohon kepada polisi: “Jangan penjarakan saya, Pak. Pokoknya kalau anak itu hamil, saya tanggung jawab...”
Membaca dialog Saipul itu saya jadi tertawa ngakak. Ada-ada saja kreatifitas orang dalam memandang sebuah permasalahan. Mosok jeruk bisa hamil sama jeruk? yang bener aja elo, Pul...
Kasus penyimpangan seksual yang dilakukan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) sebenarnya bukanlah barang baru, bahkan mungkin sama purbanya dengan kehidupan manusia itu sendiri. Tapi menjadi menarik ketika pelaku penyimpangan ini adalah Saipul Jamil yang dikenal sebagai artis yang tak pernah meninggalkan ibadah shalat.
Seperti yang kita ketahui bersama, agama apapun tidak ada yang membenarkan perilaku LGBT. Setiap kitab suci jelas menyatakan bahwa LGBT adalah perilaku yang menyimpang. Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana seseorang yang tak pernah meninggalkan ibadah dapat melakukan perilaku yang jelas-jelas ditentang oleh agama?
Dalam psikologi ada sebuah teori yang mungkin sedikit menjelaskan tentang ini, dimana keyakinan dan kepercayaan serta kebiasaan bertolak belakang dengan apa yang dilakukan. Cognitive Dissonance Theory merupakan sebuah teori yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten.
LGBT sendiri dalam pandangan ilmu psikologi dibagi menjadi dua, yakni yang menerima perilaku atas orientasi seksualnya itu dan yang tidak menerima akan tetapi tidak punya daya mengatasinya sehingga dia merasa terganggu (egodistonik). Nah, ‘si Saipul Jambul’ ini mungkin masuk dalam kategori yang kedua.
Di Indonesia, perilaku LGBT pernah dikategorikan sebagai gangguan jiwa yang terangkum dalam PPDGJ (Panduan Pedoman Diagnostik Gangguan Jiwa). Akan tetapi semenjak 1983, LGBT sudah dikeluarkan dari daftar PPDGJ. Dengan demikian perilaku tersebut sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai bentuk gangguan jiwa akan tetapi hanya merupakan salah satu bentuk orientasi seksual semata.
Nah, menurut psikolog, LGBT yang dikatakan mengalami gangguan jiwa justeru LGBT yang egodistonik tadi, yaitu LGBT yang merasa terganggu dengan orientasi seksnya. Para ahli menganggap LGBT egodistonik adalah individu yang hanya mengalami distress nyata dan menetap, sehingga dalam proses terapinya LGBT egodistonik diarahkan untuk menerima orientasi seksualnya itu.
Tentu saja teori diarahkan untuk menerima orientasi seksualnya itu bertentangan dengan fatwa kalangan agamawan dan norma-norma yang berlaku pada kebanyakan masyarakat kita. Perdebatan seputar LGBT antara agama dan ilmu pengetahuan memang sampai sekarang belum menemukan titik temunya.
Hadeeh, lama-lama pusing juga pala berbie berteori tentang LGBT. Padahal nulis muter-muter cuma mau nanya gini doang ke ‘si Saipul Jambul’: Pul, elo GGS ya? Ganteng Ganteng... Sosis elo embat juga? Hehe.
Pokoknya kontroversi seputar LGBT pilihannya ada pada anda deh ...
[caption caption="Sumber Gambar: belitung.tribunnews.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H