Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Heboh Kalijodo] Haji kok Ngelola Tempat Judi dan Prostitusi sih? Huh! Malu-maluin Aja...

16 Februari 2016   19:40 Diperbarui: 16 Februari 2016   19:53 4658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: liputan6.com"][/caption]Miris euy baca berita tentang Kalijodo, beberapa bosnya oleh media ditulis menyandang status ‘haji’. Sebagai muslim, saya kok jadi malu. Mbok ya status hajinya gak usah disebut-sebut gitu lho. Abis, status dengan profesinya bak bumi dan langit. Hehe

Tapi itulah realitasnya, Mas Bro.

Bahkan, dalam bukunya “Geger Kalijodo: Kisah Polisi dan Mediasi Konflik” Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Krishna Murti menulis: Kawasan perjudian Kalijodo terbagi atas tiga wilayah “kekuasaan”. Di bagian depan, yaitu di Jembatan Dua, dikuasai kelompok yang kerap disebut “Banten-Serang”, yang dipimpin Haji Riri, yang memang berasal dari Serang, Propinsi Banten.

Waduh, saya selaku warga Banten kaget juga nama propinsi saya disebut-sebut disitu.

Sedikitnya ada lima bos besar di sana: Haji Riri yang bergandengan dengan Agus, Haji Usman, Aziz, Bakri, dan Ahmad Resek. Mereka berbagi kavling kekuasaan di Kalijodo, tulis Krishna Murti dalam buku penelitiannya yang diperuntukan guna studi pasca sarjana di Program Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia itu.

Siapa Haji Riri?

Bagi sebagian warga Cilegon dan Serang, nama Haji Riri cukup terkenal sebagai pemilik beberapa properti, di antaranya: beberapa komplek ruko dan perkantoran di kawasan strategis di Cilegon, dan pemilik beberapa hotel megah di kawasan wisata Anyer, Serang.

Namanya pernah mencuat pada saat pilkada Cilegon tahun 2010. Ia disebut-sebut sebagai penyandang dana dari salah satu pasangan calon walikota yang kebetulan kalah pada waktu itu. Selebihnya, saya lebih banyak tahu tentang namanya dari media ketika heboh tentang Kalijodo.

Di dalam bukunya itu, Krishna Murti juga mengisahkan bagaimana ia dan timnya berhasil membongkar praktik penjualan perempuan (women trafficking). “Mereka datang dari berbagai daerah, dipaksa menjual diri setelah sebelumnya datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga,” tulis Krishna.

Terkait dengan women trafficking ini, saya juga pernah melakukan investigasi tanpa sengaja di kampung dimana ‘pimpinan kelompok Banten di Kalijodo’ ini berasal.

Awalnya ketika itu saya sedang hunting pembantu karena pembantu di rumah ingin berhenti. Atas saran banyak teman saya dianjurkan untuk nyari pembantu dari daerah P (maaf, saya menulis inisialnya saja), sebuah kampung di wilayah kabupaten Serang.

Diantar seorang sahabat yang berfungsi menjadi guide, kami berangkat ke kampung P ‘meng-interview’ beberapa perempuan yang siapa tahu cocok untuk bekerja di rumah.  

Dari beberapa perempuan yang saya temui di sana, dari awal saya sebenarnya heran. Untuk ukuran perempuan yang tinggal di kampung pesawahan yang jauh dari kota, dandanan mereka terlalu menor menurut saya. Belum lagi sikap dan gaya bicara mereka.

“Ibu berani bayar berapa kalau saya mau kerja di tempat ibu?”

Saya pun menyebut angka yang biasa saya bayarkan per bulan gaji pembantu saya.

“Bu, asal ibu tahu ya, uang segitu saya bisa dapatkan hanya dalam satu malam sewaktu kerja di Jakarta,” kata perempuan itu sambil menyalakan rokok di hadapan saya.

“Emang di Jakarta mbak kerja apa?” tanyaku.

“Pelayan...” katanya sambil ngeloyor meninggalkan kami.

Busyeet, pelayan apa yang bisa dapat uang segitu dalam semalam?

Di mobil, sahabat saya sambil tertawa menceritakan perempuan tadi. “Dia afkiran dari Kalijodo, Mbak.”

Hah! Saya kaget.

Sahabat saya itu pun bercerita bahwa ada seorang warga kampung disini yang berhasil sukses bisnis esek-esek di Kalijodo. Penduduk disini menyebut namanya dengan panggilan ‘kangaji’ (Kang Haji). Si kangaji ini sering mengajak penduduk, khususnya gadis-gadis belia, untuk bekerja di Jakarta ikut dirinya. Tak ada yang tahu kerjaan apa yang disana.

“Tau tau, pulang kampung.... ya seperti perempuan tadi itu, Mbak,” kata sahabatku masih tertawa.

Darah sebagai aktivis pembela hak-hak perempuan yang mengalir di tubuhku pun menggelegak. Haji kok bisnisnya gituan.... Huh!

Mas Bro and Sister, ayo kita lawan traficking women!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun