Diantar seorang sahabat yang berfungsi menjadi guide, kami berangkat ke kampung P ‘meng-interview’ beberapa perempuan yang siapa tahu cocok untuk bekerja di rumah.
Dari beberapa perempuan yang saya temui di sana, dari awal saya sebenarnya heran. Untuk ukuran perempuan yang tinggal di kampung pesawahan yang jauh dari kota, dandanan mereka terlalu menor menurut saya. Belum lagi sikap dan gaya bicara mereka.
“Ibu berani bayar berapa kalau saya mau kerja di tempat ibu?”
Saya pun menyebut angka yang biasa saya bayarkan per bulan gaji pembantu saya.
“Bu, asal ibu tahu ya, uang segitu saya bisa dapatkan hanya dalam satu malam sewaktu kerja di Jakarta,” kata perempuan itu sambil menyalakan rokok di hadapan saya.
“Emang di Jakarta mbak kerja apa?” tanyaku.
“Pelayan...” katanya sambil ngeloyor meninggalkan kami.
Busyeet, pelayan apa yang bisa dapat uang segitu dalam semalam?
Di mobil, sahabat saya sambil tertawa menceritakan perempuan tadi. “Dia afkiran dari Kalijodo, Mbak.”
Hah! Saya kaget.
Sahabat saya itu pun bercerita bahwa ada seorang warga kampung disini yang berhasil sukses bisnis esek-esek di Kalijodo. Penduduk disini menyebut namanya dengan panggilan ‘kangaji’ (Kang Haji). Si kangaji ini sering mengajak penduduk, khususnya gadis-gadis belia, untuk bekerja di Jakarta ikut dirinya. Tak ada yang tahu kerjaan apa yang disana.