Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anakku Jadi Teroris

25 Januari 2016   21:11 Diperbarui: 25 Januari 2016   21:11 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Image Source: myphds.blogspot.co.id"][/caption]

“Mah, si kaka o’on. Masa 2+3 katanya 5. 2+3 kan 4 ya Mah..?”

Anda mungkin geli atau iba ketika putra anda yang masih duduk di bangku TK, saat anda pulang kerja, mengadu demikian kepada anda.

Geli karena wajarlah dia masih TK belum memahami betul tentang penjumlahan. Iba dengan sikap ngotot anak anda itu dalam mempertahankan apa yang ia anggap benar, sayang apa yang ia yakini itu salah. Nah, sebagai orangtuanya kita harus bijak memberi pemahaman bahwa apa yang dia yakini itu salah, tanpa harus membunuh sikap dan semangatnya itu dalam mempertahankan apa yang ia yakini benar.

Tapi bagaimana kalau yang ngotot itu anak anda yang sudah duduk di bangku SMU, dan tiba-tiba bilang begini: “Syahadat kita sekeluarga menurut Imam salah! Ibadah kita tidak diterima. Kita ini kafir semua..! Pemerintah kita kafir, sistem kita kafir ... bla bla bla..”

Haduuh.. Nak, kamu ini kenapa sih? Imam sopo iku? Wah, gawat, kamu sudah didoktrin ajaran sesat. Kamu sudah kena ISIS, teroris.. Istighfar Nak, istighfar...

Kisah ini betul-betul terjadi menimpa sahabat saya yang single parent. Dia bekerja sekaligus mengurus keempat anaknya. Masalah datang pada anak keduanya yang sedang duduk di bangku SMU.  

Awalnya, tak ada yang aneh pada perilaku anaknya itu. Malah sahabat saya itu sering membanggakannya, “Walau kami jarang berinteraksi dengannya karena saya harus bekerja dari pagi sampai malam, Alhamdulillah dia itu gak ikut teman-temannya yang nakal dan ugal-ugalan. Dia hanya ikut kegiatan-kegiatan positif seperti di keorganisasian sekolah dan forum-forum kajian agama..”

Tiba-tiba, dalam beberapa bulan ini sikap anak keduanya itu berubah, demikian menurutnya. Jadi pendiam dan sering menyendiri, jarang berkumpul walaupun dengan ketiga saudaranya yang lain. Kalaupun bicara, kata-katanya tidak rasional, gampang marah, bahkan berani menentangnya.  

Dan yang paling membuat dia terhenyak adalah ucapan yang sering keluar dari mulut anaknya itu: halal darah orang kafir!, Nabi Ibrahim juga melawan ayahnya yang kafir!, tutur sahabat saya itu dengan wajah sedih.

Selanjutnya saya tak mengetahui bagaimana kisah sahabat saya dan anaknya itu.

Kita kembali saja pada aduan anak TK tadi. Anak itu ngotot mempertahankan kebenaran yang ia yakini benar. Dia berusaha mencari dukungan pembenaran atas pendapatnya itu. Sikap kita hanya geli, dan berupaya menjelaskan kepadanya dengan penuh kesabaran, bahwa 2+3 itu adalah 5, bukan 4.

Lantas bagaimana dengan anak sahabat saya yang meyakini kebenaran bahwa selain kelompoknya yang lain adalah kafir semua, dan orang kafir halal darahnya? Astaghfirullah al-Adhiim   

Saya pernah menulis di Kompasiana ini “Seputar Kontroversi, Aja Rumangsa Bener Dewe”, bahwa setiap individu memang memiliki persepsi berat sebelah dalam memaknai sebuah kebenaran. Kita sering membawa setumpuk keyakinan yang sebenarnya tidak memiliki pembenaran rasional. Kalaupun kita menemukan apa yang mungkin benar, atau yang paling mungkin benar dan di lingkungan mana kita bisa mengetahui dengan pasti apa yang benar, itu semua dikarenakan asumsi individu didisain untuk membuat individu dan komunalnya merasa nyaman.

Jika suatu pendapat bertentangan dengan pendapat kita dan kita menjadi terlibat secara emosi, hal ini menandakan bahwa secara tak sadar kita mengakui bahwa mungkin kita tidak memiliki pembenaran rasional atas pandangan kita itu. Kita sama sekali tak marah ketika anak kita yang baru TK ngotot bahwa 2+3 adalah 4 karena kita yakin bahwa dia salah dan kita memiliki pembenaran rasionalnya.

Akan tetapi, kalau kita sudah mulai merasa terlibat secara emosional dan merasa paling benar sendiri seperti anak sahabat saya itu, berhati-hatilah; barangkali keyakinan bahwa pendapat yang kita anggap paling benar itu sesungguhnya melampaui apa yang dibenarkan oleh bukti-bukti.

Sebuah cara untuk membersihkan dogma merasa paling benar sendiri itu adalah dengan mencoba memahami pendapat-pendapat yang dipertahankan di lingkungan yang berbeda dengan pendapat yang ada di sekitar kita. Contohnya, anda dapat menyatakan bahwa Gafatar itu sebuah kelompok sesat apabila anda betul-betul yakin dengan bukti-bukti tentang kesesatan yang dilakukan oleh kelompok itu. Bukan hanya didasari oleh asumsi orang banyak semata. Ingat, asumsi orang banyak didesain untuk kenyamanan pendapat orang banyak itu.

Saat anda menganggap bahwa mereka sesat, jangan-jangan anggapan yang sama juga ada di benak mereka tentang anda.   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun