Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Misteri di Balik Lukisan “Perjamuan Terakhir”

20 Desember 2015   13:28 Diperbarui: 20 Desember 2015   16:19 8293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lukisan "Perjamuan Terakhir""][/caption]Lukisan termasyhur ‘Perjamuan Terakhir’ (The Last Supper) awalnya adalah mural yang dilukis di dinding Biara Santa Maria Della Grazia, Milan, Italia, pada abad ke-15 atas permintaan raja.

Demi menciptakan gambaran sesuai seperti yang dikisahkan dalam Injil, Leonardo da Vinci, pelukisnya, melakukan semacam casting guna mencari model yang tepat guna mewakili setiap karakter untuk lukisannya itu.

Ketika melukis gambar Yesus, da Vinci berhasil memilih dari ribuan pemuda Italia seorang anak muda 19 tahun yang menurutnya memiliki pola wajah 'tidak terlalu tercemar oleh dosa'. Gambaran kepribadian Yesus yang sesuai di dalam benaknya. Selama enam bulan, Ia melukis karakter ini dengan serius.

Dan selama enam tahun, satu per satu da Vinci terus mencari tokoh karakter yang tepat untuk dilukis sebagai perlambang ke-12 murid Yesus lainnya.

Tinggal karakter Yudas Iskariot sebagai tahap akhir mahakaryanya itu. Da Vinci harus menggambarkan sosok si murid pengkhianat itu dengan karakter berwajah keras, munafik, bertampang penipu dan suka mengkhianati teman sendiri.

Setelah melalui pencarian panjang, ia pun berhasil menemukan sosok yang ia cari itu di penjara bawah tanah Roma. Sosok yang ia anggap cocok menggambarkan karakter Yudas, kejam dan licik. Kebetulan lelaki tersebut baru saja mendapatkan vonis mati karena telah melakukan berbagai kejahatan besar.

Selama enam bulan proses penyelesaian sosok karakter Yudas, si model hanya tertunduk dan terus diam seolah memendam penyesalan yang berat.

Setelah nyaris menyelesaikan karyalukisnya, da Vinci meminta penjaga yang mengawasi sang napi untuk membawanya kembali ke penjara. Saat akan dibawa kembali ke penjara tiba tiba lelaki tersebut mendadak melepaskan diri dari si pengawal dan menangis di hadapan da Vinci: “Da Vinci, pandanglah aku! Apakah kau tak mengenalku?”

Da Vinci menggeleng, "Aku tak pernah mengenalmu sebelum kutemukan kau di penjara bawah tanah Roma.”

Lelaki tersebut semakin larut dalam tangisnya. "Ya Tuhan, apakah aku sudah terjatuh begitu dalam?"

Si model Yudas Iskariot itu kemudian menengadah memandang da Vinci dengan air mata berlinang seraya berujar, "Da Vinci, akulah anak muda yang kau lukis 7 tahun silam sebagai Yesus."

Kisah yang saya petik dari http://nasional.sindonews.com/read/697020/82/kisah-dibalik-lukisan-perjamuan-terakhir-1355326340 itu mengajarkan kepada kita bahwa kepribadian manusia bersifat dinamis, dapat berubah dan tak selamanya baik atau jahat. Jadi berhati-hatilah dalam mengkultuskan manusia, atau menganggap (baca: menghujat) bahwa orang yang kita anggap salah akan selamanya salah.

Mengapa orang baik bisa menjadi jahat, atau sebaliknya?

Dalam penelitiannya tentang memahami mengapa orang baik bisa menjadi jahat, Philip Zimbardo, penulis buku “The Lucifer Effect” mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mendasari: Disposisi (kepribadian bawaan), Situasi (lingkungan) dan Sistem (politik, ekonomi dan sosial). Dan Zimbardo menemukan bahwa faktor lingkunganlah yang dominan membuat seseorang menjadi jahat.

Dalam eksperimenya yang diberi nama "Stanford Prison Experiment", 1970, ia meminta bantuan sukarelawan untuk rela bermain peran sebagai sipir penjara dan narapidana selama 2 minggu penuh. Penelitian ini melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak punya sejarah masuk penjara atau melakukan tindak kriminal apapun, dapat dikatakan bahwa mereka semua orang baik-baik.

Dari awal penelitian, mereka betul-betul diskenariokan sebagai narapidana, mulai dari dijemput di rumah masing-masing dengan mobil polisi dan borgol dari polisi, hingga aturan-aturan di penjara simulasi yang terletak di ruang bawah tanah Universitas Stanford.

Hari-hari pertama penelitian berlangsung sesuai perkiraan, namun pada beberapa hari ada kejadian-kejadian di luar dugaan. Para sipir mulai bertindak di luar instruksi dengan alasan 'mendidik' para napi yang tidak disiplin, diikuti dengan reaksi melawan dari para napi. Bahkan ada salah satu napi yang sampai tantrum (perilaku amarah) dan akhirnya harus dikeluarkan dari penelitian karena khawatir akan mendapati efek negatif dari eksperimen tersebut.

Dan dari penelitiannya itu, Zimbardo menawarkan solusi, yaitu Heroism atau 'kepahlawanan' untuk melawan bobroknya sistem dan situasi yang dihasilkan demi kebaikan umat manusia.

Kepahlawanan yang dimaksud bukanlah pahlawan dalam artian Superman atau hal lain yang mencengangkan. Yang dimaksud dengan kepahlawanan adalah kepahlawanan dalam artian berani menentang sistem yang buruk dan fokus pada pemecahan situasi yang buruk menjadi baik dengan menjadi sedikit 'devian' atau berbeda dari orang lain.

Presiden Jokowi mungkin melakukan aksi yang berani guna membasmi mafia minyak dan drakula Freeport. Aksi yang juga dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya dengan konsekwensi diturunkan oleh kekuatan jahat tersebut, atau hidup nyaman dengan menjadi bagian dari kejahatan itu guna bersama-sama menghisap darah rakyat.

Mampukah presiden tetap dengan aksi ke pahlawanannya melawan bobroknya sistem dan situasi yang dihasilkan demi kebaikan rakyat? Mengingat sistem perpolitikan kita yang mewarisi sejarah kelam dari semenjak Zaman Ken Arok, yakni; aksi balas dendam, aksi tipu daya dan saling bantai, dimana kepentingan pribadi dan kelompok lebih mencuat ketimbang kepentingan rakyat. Sebuah sistem persis seperti yang digambarkan WS Rendra dalam puisinya:

..... Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela ....

Oleh karena itu, kritik sangat dibutuhkan agar Jokowi tidak terlena dalam tipu daya sistem yang sudah terlanjur bobrok itu. Kritik sebagai bentuk partisipasi warga negara guna melakukan kontrol karena menyadari bahwa presiden juga manusia, bisa berubah sejalan dengan perjalanan waktu. Puja-puji dari para pengkultus hanya akan meninabobokan Bapak Presiden kita.

Semoga kisah tokoh Yudas dalam lukisan “Perjamuan Terakhir” tidak pernah terjadi pada bangsa kita. Dimana, di suatu masa nanti, mata Bapak Presiden menengadah memandang wajah rakyat dengan air mata berlinang seraya berujar, "Rakyatku, pandanglah aku. Apakah kalian tak mengenalku? Akulah pemimpin yang kau harapkan beberapa tahun silam sebagai presidenmu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun