Seorang wanita mengambil silet yang terselip di dinding anyaman bambu. Disayatkannya silet itu pada wajah seseorang yang duduk terikat tak berdaya di hadapannya.
"Penderitaan itu pedih, Jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Juga pedih! Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," ujar wanita itu dengan wajah bengis.
Lelaki yang dipanggil jenderal itu dihujani pukulan, disiksa hingga sekarat dan mati. Sementara iblis-iblis psikopat yang menyiksanya tak henti-henti tertawa kejam sambil menyanyikan lagu “Genjer-Genjer".
Masih ingat dengan adegan film di atas?
Ya, itu adalah cuplikan adegan yang diambil dari film “Pengkhianatan G30S/PKI” garapan Arifin C Noer. Arifin diakui telah sukses menciptakan trauma kolektif bagi jiwa-jiwa penontonnya, terutama anak-anak di zaman Orba. Sialnya, saya lah salah satu di antara anak-anak itu.
Selama masa Orde Baru di tahun 1980-an hingga menjelang Orde Baru runtuh, saban malam tanggal 30 September, kita hanya punya satu pilihan: menonton film itu! Pilihan lainnya, mematikan TV atau tidur lebih cepat.
Dinding anyaman bambu tempat menyelipkan pisau silet yang digunakan untuk menyiksa si jenderal divisualkan lengkap berikut detil irisan silet pada kulit dan daging. Ekspresi wajah bengis dan kejam para gerwani dibalik lagu “Genjer-Genjer” ditampakan bak para pemuja setan yang sedang melakukan ritualnya. Bertahun-tahun saya ‘dipaksa’ menyaksikan film horor itu hanya bisa memejamkan mata, tak kuat melihat kekejaman manusia yang dipertontonkan oleh si pembuat film.
Seperti layaknya film-film bergenre horor, ilustrasi musik dalam film itu memperkuat narasi gambarnya, yakni keheningan malam yang mencekam. Tidak menggedor jantung seperti film horor pada umumnya yang bisanya cuma bikin kaget, akan tetapi musik pada dalam film itu seperti mengiris jantung seiris demi seiris membuat kita ingin menutup mata dan telinga karena tak kuat lagi sudah jantung ini diiris-iris.
Dialog-dialog teatrikal dalam script Arifin bersama garapan musik Embie C. Noer menghadirkan rasa mencekam menggempur rasa takut penonton. Kehandalan Arifin dalam latar belakang teaternya tampak jelas lewat semua pengaturan blocking dalam adegan demi adegan. Dialog-dialog fenomenal seperti: “Darah Itu Merah, Jendral!”, “Bukan main wanginya minyak wangi Jenderal, begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri!”, mampu menghadirkan kebencian meski pada hati seorang penyabar suci sekalipun.
Film berdurasi 4,5 jam ini dimulai dengan narasi detil yang nyaris sempurna dari gambaran situasi politik negara ini yang dilanda kekacauan saat itu. Dari adegan Presiden Soekarno yang tengah sakit keras, rapat-rapat Polit Biro PKI yang dihadirkan dengan atmosfer kelam, siaran radio yang tengah memberitakan keadaan politik dalam negri, wajah-wajah bopeng para petinggi PKI, asap rokok yang terus menerus mengepul, serta bergelas-gelas kopi hitam dan puntungan rokok di asbak.
Atmosfer mencekam itu kian mencapai puncaknya saat adegan mulai memasuki penculikan para jenderal. Suara mesin truck tentara yang berhenti, derap sepatu tentara Cakrabirawa PKI yang melompat turun bersenjata lengkap meneror kediaman dan keluarga para jenderal, semua hadir dengan penggarapan mendekati nyata. Bahkan beberapa adegan dramatikal seperti adegan putri Mayjen DI Panjaitan yang histeris membasuh mukanya dengan darah ayahnya berhasil mencuri kedukaan mendalam penonton yang semakin terhenyak miris.