Pengadilan Syariat Arab Saudi menjatuhkan hukuman pancung kepada 28 petugas yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya Tragedi Mina yang menewaskan sedikitnya 717 jamaah Haji, 3 di antaranya jamaah warga negara Indonesia. Hukuman akan dilaksanakan di hadapan jamaah. Demikian ditulis beberapa media Arab yang dilansir Fars News Agency, Jumat (25/9), seperti dikutip Okezone.
Banyak pihak berspekulasi bahwa hukuman tersebut adalah upaya pengkambinghitaman terhadap ke-28 petugas yang dihukum pancung itu. Karena sebelumnya, Pangeran Arab Saudi Mohammad bin Salman Al Saud lah yang dituding sebagai biang terjadinya tragedi Mina hari Kamis (24/9) kemarin.
Hukuman pancung (qisas) atau hukuman dengan cara pemenggalan kepala adalah hukuman tertinggi bagi mereka yang terbukti secara hukum bersalah telah melakukan penghilangan nyawa manusia. Setelah melalui proses pengadilan hingga vonis eksekusi, pihak terdakwa sebenarnya masih memiliki harapan hidup apa bila pihak ahli waris korban mau memaafkan.
Raja sebagai pemegang otoritas tertinggi negara pun, sebetulnya tidak punya hak dan kekuasaan untuk memerintahkan eksekusi hukuman pancung tersebut, karena menurut hukum Saudi perintah atau pembatalan eksekusi adalah hak keluarga korban. Jika ahli waris mau memaafkan, biasanya si terhukum hanya akan dikenakan denda yang disebut Diyyat atau “Blood Money”. Meskipun, mahkamah tetap memutuskan kepada si terhukum untuk masuk penjara.
Menurut Pengajar Hukum Pidana Islam, Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nurul Irfan: “Dari berbagai negara Islam, Arab Saudi lah yang paling ketat menerapkan qisas hukuman pancung , karena Arab Saudi menerapkan langsung ayat Al Quran, Surat Al-Baqarah ayat 178.”
Dalam ayat tersebut disebutkan; kewajiban hukum qisas pada orang-orang yang terbunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik.
Dari ayat ini, ada perkecualian hukum qisas yaitu apabila keluarga korban memaafkan. Sebagai pemaaf tersebut, pembunuh mengganti denda dengan 100 ekor unta, 40 diantaranya unta yang sedang hamil. Kalau dirupiahkan mencapai Rp 4,7 miliar.
Adapun sebab-sebab turunnya ayat itu adalah demi memotong budaya jahiliah yang berkembang sebelum datangnya Islam. Pada waktu itu, jika ada satu orang dibunuh, maka akan membunuh balik sang pembunuh hingga ke keluarga pembunuh. Sehingga turunlan ayat ini yang menekankan asas keseimbangan, yaitu satu nyawa di balas satu nyawa. Bukan satu nyawa di balas satu keluarga.
Namun, pemberlakuan hukum qisas bukannya tanpa kritik. Menurut Irfan, hingga saat ini tidak ada hukum acara yang pasti untuk menentukan bagaimana cara pembuktian di peradilan. Selain itu juga sistem peradilan disana yang tidak terbuka, kemudian model struktur kepemimpinan pemerintahanannya. “Di sana, Raja menguasai ulama. Ulama yang tidak sesuai dengan keyakinan Raja, disingkirkan,” tuntas Irfan.
Masih ingatkah kisah WNI kita, Siti Zainab, yang dieksekusi mati di Arab Saudi?
Buruh Migran Indonesia itu dieksekusi mati di Kota Madinah, Arab Saudi. Siti Zaenab yang diduga mengalami masalah kesehatan jiwa itu dieksekusi Selasa (14/04/2015), pukul 10.00 waktu Madinah, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya pada Pemerintah Indonesia atau perwakilannya di Arab Saudi.
Organisasi pegiat hak asasi manusia Amnesty International mengecam eksekusi mati itu. Direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International, Philip Luther, menyatakan bahwa eksekusi terhadap seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa bertentangan dengan dasar kemanusiaan. Sebuah resolusi PBB telah menyerukan untuk tidak mengeksekusi atau menerapkan hukuman mati "bagi seseorang yang menderita semua jenis gangguan jiwa".
"Praktik ini telah dikecam secara luas di dunia dan Arab Saudi seharusnya menanggapi kesempatan untuk mempertimbangkan kembali kebijakan mengenai hukuman mati", kata Philip Luther dalam pernyataan yang dirilis melalui situs Amnesty International.
Di Indonesia, pernah muncul perdebatan seputar fatwa hukuman mati sekelompok orang terhadap Ulil Abshar-Abdala, berkaitan dengan artikelnya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di Harian Kompas. Siapa pun bisa tidak sependapat dengan isi atau metode tulisan Ulil. Namun, bila sampai mengarah fatwa penghilangan nyawa, ini sudah melampaui kepantasan akal sehat manusia. Tokoh Islam seperti Yusuf Qardhawi dalam buku Fiqh Al-Ikhtilaf tidak menganjurkan fatwa-fatwa semacam itu ketika terjadi beda pendapat. Dia bahkan memperkuat argumen, perbedaan pendapat adalah rahmat.
Bahkan, hari ini ada sebuah artikel di kompasiana yang meminta agar negara menghukum mati Tua Aulia Fuadi, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, karena anak ini dianggap telah melecehkan Al Quran dan melecehkan nabi dalam satusnya di sebuah medsos.
Seorang kompasianer mengomentari artikel itu: “... Apapun tak akan ada yang bisa membuat Al-Quran jadi hina ..... karena memang sudah mulia dari sononya.... Adakah Rasul pernah menghukum mati orang yang pernah menghinanya?”
Sumber Foto: http://news.okezone.com
http://fokusjabar.com/2015/09/25/hari-ini-28-petugas-mina-dijatuhi-hukuman-pancung/
http://news.detik.com/berita/1663564/inilah-dasar-hukum-pancung-di-arab-saudi
https://krisbheda.wordpress.com/tag/menyegarkan-kembali-pemahaman-islam/
http://buruhmigran.or.id/2015/04/15/eksekusi-mati-tki-siti-zainab-melanggar-hak-hidup/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H