Mohon tunggu...
Laura Siahainenia
Laura Siahainenia Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura

Sangat berminat pada issue sumberdaya hayati dan dinamikanya

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Amankah Makan Kepiting Bakau dari Teluk Ambon Dalam?

7 Maret 2024   11:00 Diperbarui: 11 Maret 2024   15:34 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekosistem Mangrove Passo (sumber: Koleksi Pribadi)

Pulau Ambon dengan posisi astronomis 128°11’35,24’’-128°11’40,28”BT dan 03°37’43,45”-03°39’455” LS, memiliki salah satu bagian perairan yang disebut Teluk Ambon Dalam. Teluk ini merupakan perairan semi tertutup yang relatif sempit dan dangkal, dengan luas ±12,1 km2, dan kedalaman perairan ±44 m. Teluk Ambon Dalam memiliki salah satu ekosistem khas perairan tropis yaitu mangrove yang mengandung berbagai sumberdaya hayati, diantaranya kepiting bakau (Scylla spp.).

Ekosistem Mangrove Waiheru-Nania (sumber: Koleksi Pribadi)
Ekosistem Mangrove Waiheru-Nania (sumber: Koleksi Pribadi)

Kepiting bakau merupakan organisme makrozoobentos, yang menjadikan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya. Kepiting bakau diklasifikasikan dalam Phyllum Arthropoda, Kelas Crustaceae, Subkelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Subordo Brachyuran. Family Portunidae dan Genus Scylla. Kepiting bakau yang dikenal dengan nama mangrove crab atau mud crab, merupakan komoditi perikanan potensial penyangga kehidupan masyarakat, karena memiliki harga jual cukup tinggi. Harga kepiting bakau di pasar online nasional mencapai Rp. 100.000-200.000/kg, sedangkan harga jual di Maluku mencapai 100.00-150.000/kg. 

Saat ini kepiting bakau menjadi salah satu komoditi perikanan bertujuan ekspor ke beberapa negara, antara lain: Amerika Serikat, Jepang, Australia, Benelux, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Utara dan Korea Selatan. Memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena kepiting bakau adalah salah satu bahan pangan yang lezat. Setiap 100 g daging kepiting bakau segar, mengandung 13,6 g protein, 3,8 g lemak, 14,1 g hidrat arang dan 68,1 g air (Kordi 2000 dalam Oktamalia et al., 2019).

Kepiting Bakau Scylla spp.(Sumber: Koleksi Pribadi)
Kepiting Bakau Scylla spp.(Sumber: Koleksi Pribadi)

Intensifikasi penangkapan kepiting bakau di ekosistem mangrove Teluk Ambon Dalam untuk tujuan konsumsi dan komersial terus berlangsung. Padahal berbagai aktivitas pembangunan dan pemanfaatan ruang Teluk Ambon Dalam dan sekitarnya sudah berlangsung bertahun-tahun, sehingga berpotensi menyebabkan degradasi ekosistem mangrove dan perubahan kualitas parameter lingkungan termasuk pasokan bahan pencemar logam berat. Morfologis teluk Ambon Dalam yang sempit dan semi tertutup, memungkinkan sirkulasi air relatif rendah, sehingga berpotensi memerangkap limbah aktivitas antropogenik termasuk logam berat.

Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Sumber: Koleksi Pribadi
Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Sumber: Koleksi Pribadi

Salah satu logam berat yaitu Timbal (Pb) tergolong sebagai bahan pencemar karena bersifat stabil dan sulit terurai. Logam berat berpindah dan terakumulasi pada tiap komponen rantai makanan di dalam suatu ekosistem, seiring proses pemanfaatan pakan alami. Dalam rantai makanan di ekosistem mangrove, serasah mangrove dan biota kecil yang tercemar logam berat akan dikonsumsi oleh kepiting bakau, yang selanjutnya dikonsumsi oleh manusia. Selain itu kandungan logam berat dapat masuk ke tubuh kepiting bakau melalui kulit, maupun saluran pernapasan. 

Air yang diserap oleh insang akan disebarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui darah, sehingga terjadi penimbunan logam berat pada daging kepiting bakau. Selain itu,  tingkah laku kepiting bakau menggali liang bioturbasi pada substrat mangrove dan berlindung dan mencari makan di dalamnya berpotensi menyebabkannya terpapar logam berat sehingga akan menggangu pertumbuhan dan perkembangbiakannya. 

Selanjutnya manusia sebagai konsumen terakhir dalam rantai makanan paling beresiko terpapar logam berat yang dapat mengganggu kesehatan dan meracuni tubuh secara akut hingga kronis (Nurdin, 2012 dalam Hasni, dkk. 2020, Semestinya sebagai komoditi unggulan perikanan, populasi kepiting bakau harus lestari dan berkelanjutan. Di sisi lain sebagai bahan pangan yang sangat diminati masyarakat, produk kepiting bakau harus aman untuk dikonsumsi.

Hasil penelitian yang berlangsung di ekosistem mangrove Passo dan Waiheru-Nania Teluk Ambon Dalam, selama bulan Mei-Juli 2021 oleh Selanno dan Siahainenia (Staf Dosen FPIK Unpatti) menunjukan bahwa nilai rata-rata konsentrasi logam Pb pada kolom air di sekitar hutan mangrove Passo maupun Waiheru-Nania sebesar 0.006 Mg/L. Jika nilai tersebut dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan PP RI No.22 tahun 2021 yaitu 0.008 mg/l, dan deteksi limit menurut EPA yaitu 0.01 mg/l, maka konsentrasi logam Pb pada kolom air yang di ekosistem mangrove Passo dan Waiheru-Nania masih tergolong rendah.

Proses Pengambilan Sampel Pada Ekosistem Mangrove (Sumber: Koleksi Pribadi)
Proses Pengambilan Sampel Pada Ekosistem Mangrove (Sumber: Koleksi Pribadi)

Namun demikian hasil penelitian menunjukan nilai rata-rata konsentrasi logam Pb pada sedimen di ekosistem mangrove Passo sebesar 23.4 mg/kg, sedangkan di Waiheru-Nania sebesar 24.44 mg/kg. Jika nilai tersebut dibandingkan dengan nilai deteksi limit logam Pb pada sedimen menurut APHA (2017) yaitu sebesar 0.23 mg/kg dan menurut EPA yaitu 2 mg/kg, maka nilai konsentrasi logam berat Pb pada sedimen ekosistem mangrove Passo maupun Waiheru-Nania telah melebihi deteksi limit yang diperbolehkan. Kondisi ini akan membahayakan kehidupan kepiting bakau yang merupakan organisma makrozoobentos, yang hidup pada bagian permukaan maupun bagian dalam sedimen, termasuk juga manusia yang mengkonsumsi produk pangan kepiting bakau.

 Hasil penelitian juga menunjukan bahwa nilai rata-rata konsentrasi logam Pb pada daging kepiting bakau yang ditangkap di hutan mangrove Passo sebesar 0.435 mg/kg, sedangkan di hutan mangrove Waiheru-Nania sebesar 0.3900 mg/kg. Jika nilai ini dibandingkan dengan nilai deteksi limit (APHA,2017) yaitu 0.23 mg/kg, maka nilai konsentrasi logam Pb dalam daging kepiting di kedua ekosistem mangrove tersebut telah melebihi nilai yang diperbolehkan. Menurut SNI No. 7387 tahun 2009, sebagai komoditi bahan pangan, konsentrasi Pb yang diperbolehkan dalam daging kepiting bakau <0,5 mg/kg. 

Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagai bahan pangan daging kepiting bakau dari ekosistem mangrove Passo maupun Waiheru-Nania masih aman untuk dikonsumsi, namun ada kecenderungan akumulasi logam Pb. Kondisi ini semakin mengkuatirkan mengingat sebagai organisme makrozoobentos tingkah laku kepiting bakau membenamkan diri di dalam sedimen, beraktivitas pada liang bioturbasi yang digalinya dan makan serasah mangrove yang terpendam dalam sedimen menyebabkannya mudah terpapar logam berat.

Dengan demikian perlu dilakukan pengendalian dan pemantauan bahan pencemar melalui implementasi regulasi yang tepat, upaya penyadaran masyarakat, penyediaan dan pengelolaan tempat pembuangan sampah dan saluran limbah, serta upaya lainnya dalam rangka mereduksi pencemaran pada lingkungan perairan ekosistem mangrove Teluk Ambon Dalam, yang merupakan habitat kepiting bakau maupun organisme laut ekonomis penting lainnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun