Mohon tunggu...
Latip 28
Latip 28 Mohon Tunggu... pegawai negeri -

lelaki yang belajar untuk menjadi ayah, juga suami

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bali, Berawal dari Mimpi

3 Januari 2014   09:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal pertama yang dilakukan Steve Jobs ketika akan membuat Iphone, bisa jadi,  adalah bermimpi. Ia membayangkan sebuah gadget canggih yang lain dari gadget yang sudah ada di pasaran. Bahkan, mungkin,  hal pertama yang dilakukan seorang penjual gorengan sebelum berjualan adalah bermimpi. Ia membayangkan dagangannya akan laku keras di pasaran dan disukai oleh pelanggan. Dari mimpi itulah mereka menyusun rencana, kemudian berusaha untuk mewujudkannya.

Saya pikir semua hal pasti berawal dari mimpi, bahkan hidup kita berawal dari mimpi. Konon, manusia bisa hidup tanpa makan selama 40 hari. Manusia juga masih bisa hidup selama tiga hari tanpa minum bahkan manusia masih bisa hidup tanpa udara selama empat menit. Tetapi, manusia tak bisa hidup tanpa harapan, tanpa mimpi.

Tahun 2002, sebagian besar teman se-angkatan di SMA berkunjung ke Pulau Bali dalam rangka study tour. Pada tahun itu, saya hanya bisa bermimpi. Mimpi yang bisa jadi sama dengan mimpi teman SMA lainnya, yakni bisa berkunjung ke Pulau Bali. Di tahun tersebut, teman-teman bisa mewujudkan mimpinya, mereka bisa menginjakkan kaki mereka di Pulau Dewata. Berbagai objek wisata  mereka datangi, bermain pasir di pantai Kuta, berbelanja di pasar Sukowati, dan entah kemana lagi. Sepulang dari sana, saya hanya bisa mendengar cerita mereka, melihat foto-foto mereka, dan tak lupa ikut menikmati oleh-oleh yang mereka bawa.  Kemudian saya memilih untuk terus melanjutkan mimpi untuk pergi ke Pulau Bali.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya bulan Juni 2012, sebuah pesawat dari maskapai terbaik di negeri ini, Garuda Indonesia, mengantarkan saya ke Pulau Bali. Subhanallah, Allah membangunkan saya dari mimpi panjang untuk sekedar mengunjungi  pulau-Nya. Bahkan saya tak harus membayar sepeserpun untuk ini, karena keberangkat ke Bali kali ini adalah dalam rangka dinas. Ya, meski harus tetap bekerja selama di Pulau Bali, bagi saya, dreams come true. Subhanallah.

Meski dalam rangka dinas, saya masih mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan pulau ini. Saya sempat menyaksikan sunrise di Pantai Sanur. Bahkan, pada hari berikutnya, di pantai itu ada upacara keagamaan. Entah apa namanya, yang jelas Minggu pagi itu umat Hindu berduyun-duyun mendatangi pantai Sanur. Mereka menggelar persembahan seraya bersembahyang memanjatkan doa. Setelah itu mereka beramai-ramai berendam di pantai.

Sore hari selepas jam kerja usai, Saya (dan teman-teman) juga masih bisa menikmati keindahan sunset di Pantai Kuta. Menikmati deburan ombak yang menghantam pasir, menikmati jingganya  langit di belahan barat,  sungguh merupakan suguhan indah yang tak boleh saya lewatkan. Lensa dari kamera handphone saya pun tidak luput dari tangan guna membidik keindahan alam yang tersaji. Bak lukisan, senja seolah membentuk pemandangan sempurna karya Allah. Subhanallah.

Mungkin saya juga bisa dibilang aji mumpung. Mumpung di Bali, saya menikmati kuliner khas pulau itu, ayam betutu, sepuasanya. Tak cukup sekali, bahkan sampai tiga kali. Porsinya pun cukup gila menurut saya. Pada kesempatan pertama masih wajar, saya hanya memesan porsi seperempat ekor ayam betutu. Kali kedua, saya merasa kurang puas dengan seperempat ekor ayam, jadilah saya memesan porsi setengah ekor ayam. Setelah makan, perut saya terasa penuh, malas untuk bergerak,  dan mulut panas karena pedas. Namun, hal itu tak lantas membuat saya jera, saya ulangi lagi pada kesempatan ketiga, saya kembali memesan porsi setengah ekor ayam betutu. Hahaha… benar kata orang,  kapok sambel, biar pedas tapi nagih!

Pengalaman lain yang mungkin takkan terlupakan adalah saya bisa menyaksikan sunrise dari puncak Gunung Batur. Saat itu, kami keluar dari hotel pada dini hari, kemudian menaiki mobil sampai di kaki gunung. Kita tidak bisa naik ke puncak gunung dengan kendaraan, kita harus berjalan kaki untuk mencapainya.  Mendaki terjalnya batu dan tanah berpasir bukanlah hal yang mudah bagi kami yang masih amatir. Siang hari ketika kami turun, kami sadar, jalan yang kami lewati ketika mendaki dini hari tadi ternyata begitu terjal, kecil dan curam. Kami tersenyum bangga, ternyata kami bisa melewatinya semalam. Alhamdulillah.

Nothing is impossible, begitu yang saya yakini. Sepanjang kita mau bermimpi dan mau berjuang untuk mewujudkannya, serta yakin Allah akan mengabulkan doa kita. Sebagaimana firman-Nya dalam hadist qudsi,  “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku.”

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita, tulis Andrea Hirata dalam bukunya.

Kini, saya kembali bermimpi, saya bisa berkumpul dengan keluarga kecil kami. amin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun