Mohon tunggu...
Latip 28
Latip 28 Mohon Tunggu... pegawai negeri -

lelaki yang belajar untuk menjadi ayah, juga suami

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Airmata Ibu di Hari Bahagiaku

22 Desember 2013   23:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sah!” begitu teriak saksi pernikahan kami, kemudian doa dilantunkan penghulu dan diaminkan semua tamu. Alhamdulillah, semua berjalan lancar, tanpa ada halangan sedikitpun.

Tiba-tiba tangis Ibu pecah, perlahan suaranya kian keras, parau dan mengiba. Semua orang yang hadir larut dalam haru,sebagian turut tersedu.

Ada raut kebingungan di wajah istriku, pun denganku. Kuhampiri Ibu, beliau tetap menangis, kemudian berbisik, “Alhamdulillah, ibu masih bisa melihatmu menikah, Nak.” Katanya tersedu.

Kupeluk erat Ibu, akupun bahagia, Bu. Aku masih ingat kata-kata ibu tiga tahun yang lalu. Kala itu, selang terpasang di kepalanya,  mengalirkan oksigen melalui hidungnya. Kabel-kabel  menempel di dadanya, untuk memantau denyut jantungnya. Sesekali bunyi nyaring terdengar, seketika itu pula terdengar  sedu sedan yang kian keras. Beliau masih berujar, “Aku sehat kok, aku masih mau mantu (menikahkanku).” Katanya optimis, meneguhkan kami untuk pasrah dan tetap bermohon pada-Nya.

Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa kami, Ibu sehat. Ibu bisa kembali beraktifitas. Sungguh, hanya Allah yang mampu mengembalikan kesehatan ibu.

Katanya, ketika kita lahir, kita menangis sedangkan orang-orang yang mencintai kita tersenyum. Ketika kita menikah, kita tersenyum, dan orang-oranng yang hadirpun ikut tersenyum. Dan kita meninggal, orang-orang yang mencintai kita menangis. Mungkin, ini tidak berlaku bagi seorang ibu. Mungkin, ibu adalah orang yang paling sering menangis untuk kita, menangis karena bahagia, menangis karena terharu atau bahkan menangis karena ikut merasakan sakit yang kita rasa.

Ibu, kau bukanlah matahari, karena kau mampu menyinari kami sepanjang hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun