Diketahui praktek restrukturisasi polis telah diimplementasikan kedalam praktek  churning dan twissting polis asuransi yang mengganti polis lama dengan polis baru pada perusahaan yang sama, mengganti produk dengan mengubah spesifikasi polis dan manfaatnya hilang. Justru ini sebuah pembohongan belaka yang mengeruk seluruh haknya nasabah polis BUMN sebesar 40 % dari total kewajiban Negara baik secara jangka pendek dan juga jangka panjangnya. Hal inilah yang merugikan finansial nasabah polis BUMN, dan juga sekaligus menutup usaha asuransi jiwa tertua milik Negara secara permanen dimasadepan.
Sebagai informasi BUMN asuransi itu sendiri memiliki nasabah kurang lebih berjumlah 5,3 juta (data 2019) dimana data ini sangat besar jumlahnya, sekitar 1/9 dari jumlah penduduk Indonesia.
Jika diestimasikan 1 (satu) nasabah polis BUMN ini memiliki 1 (satu) orang pasangan istri/suami dan 2 (dua) anak bahkan bisa lebih dari itu jumlahnya ahliwaris dalam data polis, maka dipastikan terhadap 1 (satu) orang nasabah polis, akan menyeret minimal 3 (tiga) orang anggota keluarga inti didalamnya. Hal itu akan turut merasakan kekecewaannya, terhadap apa yang mereka terima perlakuannya tidak adil, penyelesaian pembayaran klaim asuransinya tidak selesai bahkan telah menunggu lama tanpa ada kepastian dari Pemerintah RI.
Dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang, diproyeksikan ada 30 (tiga puluh) juta orang bahkan mungkin lebih, tidak memilih hak suaranya dari paslon Capres/Cawapres yang didukung oleh Jokowi, juga didukung dari partai penguasa. Sebagai dampak dari ketidak seriusan penyelesaian tuntutan klaim asuransi yang tidak selesai atas kebijakan Pemerintah  yang tidak pro rakyat, dalam menjalankan aturan Undang-Undang Perasuransian.
Keberpihakan Pemerintah sendiri telah alpa terhadap nasib nasabah polis asuransi BUMN, tidak ada kepastian hukum di NKRI atas tuntutan klaim asuransinya nasabah polis. Pemerintah sepertinya tetap bersikeras mempertahankan kekeliruan RPK itu atas implementasi program restrukturisasi  ditubuh perasuransian BUMN. Dan telah membuat nasabah asuransinya mengalami kerugian sangat fantastis sebesar Rp 23,8 triliun dari total kewajiban Negara.
Program restrukturisasi itu telah menciderai kepercayaan berasuransi di BUMN, melukai hati rakyat yang telah menitipkan uangnya bertahun-tahun kepada perusahaan milik Negara. Restrukturisasi yang dibangun oleh Direksi BUMN, juga telah pengkianatan terhadap sejumlah aturan Undang-Undang didalamnya, telah mendapatkan reaksi keras penolakan dari sejumlah nasabah polisnya. Sepanjang tahun 2021, ada 34 (tiga puluh empat) gugatan hukum yang telah dilayangkan oleh nasabah polis, 8 (delapan) diantaranya telah dimenangkan dipengadilan nasabah polis Negara dengan amar putusan inkrah, atas perkara wanprestasi BUMN, perbuatan melawan hukum dan gugatan sederhana.
Sebagai informasi program restrukturisasi polis telah dimulai pada awal Januari 2021 berkahir pada 31 Mei 2021, yang sebelumnya telah diumumkan oleh Direksi BUMN pada 11 desember 2020 melalui virtual. Diikuti penghentian seluruh polis aktif/pembatalan polis secara sepihak cutoff polis per 31 desember 2020. Hal ini berdampak merugikan bagi seluruh nasabah polis secara manfaat asuransi, secara nilai polis dan merugikan perusahaan BUMN secara pendapatan premi menjadi terhenti (Nihil Income).
Penghentian polis aktif secara sepihak oleh Ketua TIM Restrukturisasi, tanpa terlebih dahulu melalui proses putusan dari pengadilan yang diputuskan oleh Hakim berkekuatan hukum tetap, maka menjadi cacat hukum. Hal ini telah diatur dalam KUHP Perdata Pasal 1266. Sehingga program restrukturisasi polis itu memiliki cacat hukum, juga telah melawan hukum tidak bisa dilanjutkan harus dihentikan, untuk dibatalkan dan dicabut demi hukum, sebelum terjadi banyak korbannya.
Lebih lanjut, ada kejanggalan dalam proses surat penawaran proposal restrukturisasi polis itu telah menyasar seluruh nasabahnya, dan menawarkan penghentian polis aktif, padahal sebelumnya telah dinonaktifkan terlebih dahulu, oleh ketua TIM restrukturisasi terhadap seluruh nasabah polis pada tahun 2020, baru tahun 2021 dikirimi penawarannya.
Sebagaimana diketahui dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992  tentang Usaha Asuransi Jo Undangan-Undang  No.40 tahun 2014 Tentang Perasuransian Pasal 53 Ayat 1, 2 & 4, sudah sangat jelas perintah dari UU, harus ada dibentuk Lembaga Penjamin Polis (LPP) oleh Pemerintah Bersama DPR RI, itupun tidak dibentuk hingga terjadi masalah ini berlarut-larut.
Pemerintah seperti tidak serius, untuk melindungi kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia,  khususnya kepada seluruh nasabah polis asuransi jiwa dan jaminan hari tua. Adapun  batas waktu yang diberikan maksimal 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya,maksimal batas waktunya tahun 2017 harus sudah terbentuk lembaga penjaminan polis (LPP). Â