Dari beberapa kegiatan yang penulis lakukan selama ini sebagai praktisi diindustri perasuransian, selama 18 (delapan belas) tahun lebih menekuni bidang asuransi jiwa, juga asuransi umum, mempelajari bidang Dana Dana Pensiun DPLK (dana pensiun Lembaga keuangan), juga mengikuti kegiatan seminar, pendidikan formal, atau nonformal, simposium, forum diskusi, penulis mengamati dengan mencocokan regulasi bidang perasuransian dengan menarik kesimpulannya sehingga menemukan judul yang penulis bisa sampaikan kepada pembaca.
Hasil pengamatan penulis, dari kajian dan analisis menemukan sebuah kejanggalan dalam praktek restrukturisasi polis pada salah satu Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) milik negara. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan besar dari berbagai pihak khususnya publik yang menyoroti soal restrukturisasi, baik praktisi, pakar ahli asuransi, pengamat asuransi, pelaku asuransi,dan akademisi.
Untuk itu penulis mencoba memulai menyajikan analisis ini dalam membedah secara keilmuan, secara akademisi yang tentunya harus matching dengan regulasi yang ada diperasuransian dan peraturan turunannya.
Diharapkan jangan sampai ada kekeliruan penerapan restrukturisasi polis, sehingga semua pihak merasa terpanggil untuk sama-sama mengkritisi, sekaligus meluruskan demi menghindari kerugian dikemudian hari baik perusahaan secara bisnisnya PUJK maupun nasabah polis yang sebagai objek yang membeli produk-produknya untuk tujuan perencanaan keuangan, distribusi keuangan, dan proteksi keuangan dimasadepan atas resiko ketidak pastian.
Implementasi Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) dalam bentuk restrukturisasi polis pada sautu institusi jasa keuangan PUJK, seharusnya bisa berjalan lancar sebagaimana restrukturisasi kredit debitur sektor perbankan.
Permasalahannya ada dimana, kenapa masih ada terjadi penolakan-penolakan restrukturisasi polis, yang hampir di 74 (tujuh puluh empat) kantor Cabangnya, pada 17 (tujuh belas) kantor wilayah, yang tersebar di 34 (tiga puluh empat) provinsi di seluruh Indonesia.
Bahkan tidak sedikit mereka yang memperkarakan kasus restrukturisasi polis itu, melalui gugatan hukum di kantor Pengadilan Negeri (PN). Selama tahun 2021 telah terdapat sebanyak 34 ( tiga puluh empat) gugatan nasabah polis yang teregistrasi dipengadilan Negeri (PN), PTUN, untuk memperkarakan pelaku usaha jasa keuangan (PUJK), ada 5 (lima) diantaranya telah dimenangkan oleh hakim pengadilan nasabah Polis dengan putusan inkcraht dengan mengalahkan PUJK atas perkara wanprestasi, selebihnya masih bersengketa dipengadilan, dan masih berproses.
Apa yang menyebabkan nasabah polis asuransi tidak setuju terhadap penawaran restrukturisasi polis ?
Banyak faktor untuk menjawab pertanyaan itu, setelah melalui proses panjang melalui diskusi forum, kajian seminar bersama pakar hukum, ahli hukum, literasi juga terdapat bukti-bukti dokumen proposal, ternyata bukan praktek restrukturisasi polis, yang seharusnya untuk penyelamatan polis, dan juga penyelematan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK).
Melainkan yang terjadi justru yang dilakukan sebaliknya merusak kedudukan polis dan mengembalikan ijin opersional perusahaan PUJK yang telah beroperasi sangat lama, selama 1 (satu) abad lebih, selama 163 tahun mengelola dana masyarakat, telah melayani negeri ini dengan perjalanan panjangnya, mengelola, mengedukasi masyarakatnya dengan inklusi keuangan, akan pentingya memiliki polis asuransi.Ternyata melalui RPKJ yang diplintir itu, mau dimusnahkan perusahaan warisan perjuangan sejarah bangsa Indonsia ini, yang seyogyanya mampu dilestarikan sebagai kekayaan bangsa.
Penulis mengamati bahwa jika memang tujuannya baik melakukan Restrukturisasi Polis dengan benar seharusnya memakai acuan regulasi yang sudah ada tanpa mengurangi esensi maknanya restrukturisasi itu sendiri. Lalu tinggal diharmonisasikan dengan regulasi yang ada di industri perasuransian beserta peraturan turunannya.