“Iya…sudah, sekarang Mas izinkan tidak…aku ke Hongkong, ingat Mas putri semakin besar semakin membutuhkan banyak biaya. aku juga sudah ingin punya rumah sendiri.. gak numpang sama mertua terus begini…” kata Lela pelan tapi penuh nada kecewa, wajahnya yang dulu cantik sekarang tampak agak pucat dan tak terawat, kasihan aku melihatnya.
Tapi penghasilanku sungguh tidak memadai dengan kebutuhan kami, apalagi akhir-akhir ini kami sering diliburkan karena tak ada orderan kata Sang Bos.
Setelah melalui pemikiran debat dan juga Tanya sana-sini akhirnya aku mengizinkan Lela untuk mengurus kepergiannya. Sejak saat itu akulah yang mulai banyak merawat Putri, sambil mempersiapkan bila saat Lela pergi Putri sudah terbiasa bersamaku.
Awalnya aku agak kerepotan mengurus Putri tapi Lela mengajariku untuk mengurus semua keperluan Putri anak kami.
Semua persyaratan akhirnya lengkap sudah tinggal nunggu panggilan untuk kabar mendapatkan majikan di Hongkong. Lela pun segera masuk ke tempat penampungan dan pelatihan tenaga kerja di Jakarta, bersama beberapa orang dari kampung kami.
Selama sebulan di tempat penampungan Lela jarang menghubungiku, karena jadwal pelatihan yang begitu ketat. Hingga akhirnya Lela mengabarkan kalau sudah mendapat calon majikan di Hongkong. Seminggu lagi Lela berangkat dari tempat penampungan di Jakarta. Ingin rasanya aku menenggoknya untuk bertemu terakhir kali, namun ongkos ke Jakarta sangat sulit aku dapat. Akhirnya aku merelakan kepergiannya tanpa menghantarkannya untuk yang terakhir kali.
Sampai di Hongkong, Lela segera mengabarkan kalau sudah sampai dan masih di tempat penampungan menunggu dijemput majikan, begitu katanya.
Bulan pertama kerja HP Lela disita tidak boleh menggunakan hp sama sekali, hanya sesekali Lela meminjam HP temannya yang sudah bekerja lama untuk menghubungiku.
Lela ternyata bukan ditempatkan di sebuah keluarga seperti perjanjian pada waktu berada berada di tempat penampungan namun ditempatkan di sebuah restoran. Pekerjaan Lela tiap hari mencuci mangkok-mangkok dari berbagai ukuran yang ribuan jumlahnya. Hari-hari pertama Lela merasakan capek yang luar biasa, apalagi jam istirahatnya sangat terbatas.
Pagi-pagi sekali sebelum restoran buka Lela sudah harus mengelap mangkok-mangkok itu, sampai siang jam 2 siang diberi waktu istirahat kurang dari satu jam untuk makan dan istirahat.
“Mas… aku gak tahan…disini kerjanya berat sekali, badanku, kakiku dan tanganku capek sekali, tapi bagaimana lagi, bosnya galak sekali sering memarahiku bila aku salah sedikit, aku sudah berusaha menghubungi agen yang di sini, katanya kalau aku pulang aku harus mengganti semua biaya kepergianku yang jumlahnya besar sekali, doakan aku untuk kuat ya Mas..” Begitu telpon Lela dengan suara terbata-bata menahan tangis dan capek.