Foto-Organic Farming (Sumber: www.igozen.com)
Dulu, aku tumbuh dari keluarga petani dengan 6 adik beradik. Hasil pertanian cukup untuk makan dan memnuhi kebutuhan sekunder sekeluarga. Itu dulu, di jaman Orde Lama, ketika negara baru saja merdeka sampai awal Orde Baru.
Ayahku mempraktikkan metode pertanian yang sekarang disebut dengan istilah “organic farming” atau pertanian organik. Semua petani bercocok tanam tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida.
Sawah kami jarang sekali berproduksi dua ton satu hektar per-kali panen, tapi anehnya, kami tak pernah “terjerat” hutang, apalagi hutang untuk yang namanya bibit bersertifikat, pupuk kimia, herbisida, pestisida dan semua modal untuk keperluan menanam di sawah yang disebut dengan istilah “pertanian moderen.”
Sebagai penghasilan tambahan, kami biasa memetik jagung, tomato dan sayur sayuran yang ditanam di pematang sawah. Ada juga kebun buah buahan yang mensuplai kebutuhan pisang dan jenis buah lain sepanjang tahun di belakang rumah.
Ikan, kerang kerangan dan udang melimpah di dalam sawah, serta di saluran irigasi sepanjang musim penghujan sebagai sumber makanan dan dijual untuk tambahan penghasilan.
Saat itu, ayah melakukan metode penanaman secara rotasi dengan menggunakan kompos dan kotoran hewan sebagai pupuk.
Sekarang pupuk berupa bahan kimia yang efeknya membunuh ikan, kerang dan udang udangan yang dulu sangat melimpah.
Sebenarnya, ayah dan petani petani dulu juga sudah mempraktikkan istilah yang sekarang popular dengan sebutan “sustainable and environmentally-friendly farming.” Pertanian tanpa bahan kimia, tapi mengandalkan kotoran hewan sebagai penyubur.
Terbukti petani dulu hidup berkecukupan dengan anak lebih dari 6 orang, sedangkan petani sekarang hanya dua anak hidup dililit hutang. Padahal produksi padi sekarang bisa sampai 6 ton/hektar. Jauh melampaui produksi jaman dahulu.
Apakah kita sebaiknya kembali ke era kotoran hewan?