Sejak 2017, saya mulai belajar soal skincare sembari menekuni dunia blogging. Dua hal ini kemudian menjadi passion saya tepat setelah bangkit dari keterpurukan PPD. Dua hal itu yang kemudian membuat hidup saya jadi lebih bermakna karena saya merasa ada "kerjaan" selain mengurusi urusan rumah tangga, sembari menggali potensi diri, juga belajar merawat apa yang sudah diberikan-Nya. Nyinyiran orang tentang "Ijazah sarjana yang gak berguna" karena saya memilih jadi IRT pun pelan-pelan terobati. Ternyata passion saya = selflove.
Kembali ke soal trend skincare. Saya ingat betul, zaman itu, preferensi skincare di tanah air bukanlah brand lokal. Betul, apalagi kalau bukan berkiblat ke negeri Ginseng, Korea. Saya yang memilih lokal pada saat itu jadi kesulitan menemukan referensi personal karena dominan para beauty influencer senangnya ya produk Korea. Bahkan dulu ada teman satu komunitas yang terang-terangan bilang "Maaf ya, kita mainnya Korea bukan lokal".Â
"Ish, koq gitu amat.... kenapa sih gak mau mencintai produk dalam negeri", batin saya waktu itu.
Awalnya saya tidak begitu paham bagusnya di mana. Toh skincare kan sama saja, sama-sama merawat. Secara harga juga lebih terjangkau yang lokal. Begitu kira-kira pemikiran seorang beginner amateur.
Tapi akhirnya jebol juga pertahanan saya. Setelah coba-coba sedikit, akhirnya saya yang kekeuh awalnya jadi lebih maklum kenapa mereka menyukai skincare para oppa-eonni itu. Kulit memang tidak bisa bohong ya. Jelas sekali rasanya wajah jadi lebih lembut, lebih terhidrasi, lebih sehat, lebih kenyal, dan lebih.......bikin sering ngaca.
Ingin sekali explore lebih dalam tapi terkendala soal kehalalan. Ribet bagi saya kalau harus memastikan banyak hal. Akhirnya, mau tidak mau kembali memilih skincare lokal untuk melanjutkan perawatan jelang kepala 3, saat itu
Time flies,
Keadaan pun berbalik. Tahun 2021 ini adalah panggungnya skincare lokal. Mereka berjaya di negeri sendiri. Para skincare enthusiast yang dulu hanya mereview skincare lokal, sekarang feed-nya dipenuhi oleh review skincare lokal dari berbagai merk. Brand Korea juga masih muncul beberapa tapi sudah sangat sedikit. Bila dibuat perbandingan dengan lokal, sekitar 95% : 5%.
Brand lokal apa saja sih? Banyak banget.
Jika dulu kita hanya kenal Pond's, Wardah, Sariayu, dan Mustika Ratu. Sekarang justru dibuat pusing dengan pilihan merk yang membanjiri Instagram. Sebut saja; Skin Dewi, Avoskin, Somethinc, Zalfa, Halwey, The Bath Box, Sensatia Botanica, Haum, Bhumi, True To Skin, Lacoco, Erha, Whitelab, Everwhite, Elsheskin, Scarlett, Dear Me Beauty, Studio Tropik, Kleveru, Trueve.
Sudah semua? Belum. Pasti masih ada brand yang belum saya sebut.
Beberapa di antara mereka ada yang sudah satu dekade dan ada pula yang baru hitungan bulan. Â Namun, usia brand tidak menentukan keberhasilan, karena nyatanya ada anak baru yang datang dengan konsep minimal ingredients namun hasilnya memuaskan banyak customernya.Â
Cukup membanggakan di tengah gempuran produk "made-in luar negeri".Â
Tapi, satu hal yang menarik untuk diketahui, walaupun pasar skincare tanah air sudah didominasi produk lokal namun tetap kiblat brand-brand itu mengikuti Korea Selatan. Sebut saja trend ingredients Bakuchiol yang menjadi alternatif anti aging selain retinol, Centella Asiatica (Cica) yang meredakan kemerahan dan juga Mugwort yang menggantikan tea tree oil meredakan jerawat namun tidak membuat kulit kering. Ketiga bahan natural yang naik daun beberapa tahun lalu di Korea itu kini sedang hype di 2021 di Indonesia.
Mengapa banyak bermunculan brand lokal? Tidak bisa dipungkiri bisnis skincare memang sangat menjanjikan, karena kulit glowing adalah dambaan siapa saja terutama kaum yang selalu ingin dibilang cantik. Terlebih sekarang ada jargon yang sering digaungkan bahwa "skincare adalah investasi masa depan".Â
Selain menjanjikan karena targetnya jelas dan luas, bisnis ini juga sangat menguntungkan. Saya pernah membaca kisah seorang wanita yang mendirikan brand sendiri. Modal awal Rp 400 juta bisa kembali dalam hitungan bulan. Maka tidak heran, berdasarkan data, ada setidaknya Rp 99 Trilyun pendapatan industri kecantikan pada tahun 2020. Besar sekali, bukan?
Sebenarnya pakai skincare itu sama sekali tidak salah koq, apalagi dengan tujuan merawat wajah terlebih bila sudah punya suami. Hanya saja kadang ketika melihat review skincare dimana-mana kita lalu impulsif membeli. Padahal yang dirasakan orang cocok, belum tentu di kita cocok. Terlebih sekarang banyak beauty influencer yang tidak benar-benar memakai produknya tapi langsung mereview positif karena permintaan brand.
Maka, tidak ada salahnya kita selektif memilih referensi personal. Sikap selektif itu akan membuat kita tidak mudah tergiur oleh review yang belum tentu dibuat dengan jujur. Yah walaupun tetap saja soal skincare itu cocok-cocokkan, bisa jadi sudah ditulis jujur namun kulit kita belum tentu menerimanya dengan baik.Â
Selanjutnya, kita harus belajar mengenali ingredients dari setiap produk yang kita coba, terlebih jika tidak cocok. Sehingga di lain waktu kita sudah punya bekal untuk memilih skincare. Dan jangan lupa, pastikan untuk memilih skincare yang sudah ber-BPOM dan MUI. Sekarang sudah gak zaman lagi skincare racikan yang dijual bebas di toko kosmetik yang membuat kulit putih kinclong tapi kena sinar matahari sebentar langsung merah bak kepiting rebus di rumah makan seafood.
Jadi ingat, dulu waktu saya SMP, belasan tahun lalu, beberapa teman sudah pakai krim-krim racikan yang teksturnya lengket dan gerah (yang ternyata adalah krim bermerkuri). Glowing, licin, bebas komedo apalagi jerawat. Bikin mupeng donk. Walaupun begitu saya tidak berani juga karena yah masih SMP ini. Namun, saya bisa "maklum" karena pilihan skincare belum sebanyak dan sebaik sekarang. Tapi kalau sekarang masih ada yang memakai krim racikan non BPOM, wah sayang sekali, mungkin mainnya kurang jauh.Â
Pilihan skincare lokal sekarang sudah banyak dan tidak kalah sama Korea. Sayangi kulit kita ya, karena benar kata jargon itu, "skincare adalah investasi masa depan",  kulit kita yang sekarang (sehat atau sakit)  adalah manifestasi  apa yang sudah kita lakukan kita di masa lalu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H