Kab. Semarang-- Pandemi COVID-19 bisa dibilang merupakan faktor utama yang melatar belakangi kemunduran di beberapa aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain.Â
Pandemi ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran sebagai dampak dari ditetapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Sulitnya mendapatkan pekerjaan menyebabkan masyarakat rela melakukan apapun demi mendapat upah guna menyambung hidup pasca pandemi. Dari sana munculah berbagai profesi baru, salah satunya adalah Badut jalanan dan Manusia Silver.
Badut jalanan dan manusia silver merupakan sejenis "pengamen' yang memberikan hiburan kepada masyarakat dengan mengharapkan upah seikhlasnya. Mereka merubah diri mereka dengan tujuan untuk menghibur masyarakat yang tengah menunggu pergantian lampu lalu lintas.Â
Badut jalanan mengenakan kostum badut dan biasnya membawa sebuah speaker untuk memutar lagu dan juga sebuah wadah untuk menampung upah yang didapatnya.Â
Sedangkan manusia silver mengecat tubuhnya dengan sebuah cat khusus. Usut punya usut cat yang mereka gunakan berasal dari campuran cat sablon dan juga minyak tanah. Bahan tersebut bukan merupakan cat yang yang lazim digunakan oleh tubuh manusia.
Biasanya badut jalanan dan manusia silver banyak ditemui di lampu merah dan tak jarang juga berada di Pom bensin maupun di tempat-tempat ramai seperti objek wisata maupun di area depan pabrik.Â
Penampilannya yang nyentrik menjadikan mereka sebagai pusat perhatian pengguna jalan. Biasanya pengendara maupun pejalan kaki yang lewat memberikan upah kepada badut jalanan maupun manusia silver dengan kisaran Rp 5oo,-, Rp 1000, Rp 2000 dan seterusnya.Â
Namun, banyak pula kalangan masyarakat yang acuh dengan badut jalanan dan manusia silver dikarenakan desas dusus mengenai sanksi yang akan diberikan kepada siapapun yang memberi uang kepada manusia silver. Kabarya, mereka yang memberikan uang dalam jumlah berapapun kepada manusia silver akan dikenakan denda sebesar Rp 50.000,-.Â
Terlepas dari itu, banyak pula orang yang iba dan bersimpati kepada mereka mengingat bahwa badut jalanan dan manusia silver harus bergelut dengan teriknya matahari di tengah jalanan.
Banyak tantangan, rintangan, dan ancaman yang menanti para pengamen jalanan tersebut. Mulai dari cuaca tak menentu, penertiban dari Satuan Polisi pamong Praja atau Satpol PP, dan masalah tak terduga lainnya.Â
Apalagi cacian yang sering dilontarkan oleh masyarakat mengenai buruknya profesi tersebut. Namun, hingga kini badut jalanan dan manusia silver masih marak bahkan "menjamur' di berbagai wilayah di Kabupaten Semarang.
 Badut dan manusia silver kerap ditemui di persimpangan lampu merah Polsek Karangjati. Tak hanya orang dewasa, kerap pula dijumpai manusia silver yang masih berusia kurang daari 15 tahun di kawasan tersebut. Mereka adalah anak-anak yang putus sekolah dan memutuskan untuk mencaru nafkah sendiri guna membantu perekonomian keluarga.
Seperti halnya yang diceritakan oleh Rahmat (12) dan Susilo (26), masing-masing merupakan badut jalanan dan manusia silver di kawasan perempatan lampu merah Jl. Kartini.Â
Susilo memulai profesi sebagai badut jalanan dengan kostum tokoh "Ipin" sejak bulan ke 6 pandemi COVID-19 ( sekitar bulan September 2020). Sedangkan Rahmat (12) menekuni menjadi manusia silver karena "ikut-ikutan" melihat banyaknya orang-orang di lingkungannya yang demikian. Alasannya tentu karena kurangnya pemasukan dari masing-masing pihak.Â
Susilo (26) awalnya merupakan seorang pegawai di sebuah perusahaan Swasta di Ungaran. Ia kehilangan pekerjaannya pada awal Juni 2020 silam dikarenakan PHK yang dilakukan perusahaan. Ia tidak memiliki sumber penghasilan lain selepas di-PHK dari perusahaan tersebut. Lantas, ia menerima ajakan rekannya untuk menjalani profesi sebagai badut jalanan dengan pembagian kawasannya adalah berasa di Pom Bensin Lemah Abang, Kec. Bergas.Â
Awalnya, ia memang tidak mau untuk melakukan profesi tersebut, namun karena krisis finansial yang melandanya dan untuk memenuhi tanggung jawab menghidupi istri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, ia terpaksa melakukannya. Ia berpikir umtuk melakukan peran manusia silver sembari mencari lowongan pekerjaan untuk mendapat pendapatan yang lebih pasti.
Ironinya, hingga sekarang ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap dan masih menekuni profesi sebagai manusia badut jalanan. Ia mengatakan bahwa ia memang sempat mendapatkan kerja serabutan di area Rawa Pening, Ambarawa. Namun, hal tersebut tidak berjalan lama dikarenakan ia beranggapan bahwa upah yang didapatinya tidak sebanding dengan usaha yang ia lakukan. Ia pu harus kembali terjun ke jalanan menjadi manusia silver bersama rekan-rekannya.
Semua pekerjaan memang memiliki kekurangan, kelebihan dan resikonya tersendiri. Walaupun terlihat baik-baik saja, menjadi badut jalanan dan manusia silver juga terkadang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.Â
Seperti menjadi manusia silver, penggunaan cat yang berbahaya bagi tubuh dapat menimbulkan berbagai penyakit bagi pelakunya sediri seperti alergi dan kanker kulit. Dari sisi pengguna jalan, mereka dapat mengganggu ketertiban dan kenyamanan pengguna jalan dengan berjalan-jalan di tepian jalan.
Menurut penulis, cara menanggulangi maraknya pengamen jalanan seperti badut jalanan dan manusia silver dapat dilakukan dengan cara penyediaan lapangan pekerjaan dan juga memberikan pelatihan skill dalam suatu bidang pekerjaan agar mereka dapat kembali memperoleh penghasilan tetap dan meninggalkan profesi sebagai badut jalanan dan manusia silver.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H