Mohon tunggu...
Latifa Safira
Latifa Safira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Sebagai Filsafah Kerajaan Islam Minangkabau

9 Juli 2023   09:00 Diperbarui: 9 Juli 2023   09:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masuknya agama islam ke Minangkabau pada abad ke-16 yang telah disebarluaskan oleh kesultanan Aceh yang saat itu menguasai sebagian besar wilayah pesisir pantai barat Sumatera.

Islam lalu tersebar ke dalam hingga ke wilayah Pagaruyuang. Pada masa pemerintah sultan Alif, yang mana syekh Burhanuddin yang berasal dari Aceh memiliki peran besar dalam mengislamkan raja. Akhirnya raja berserta para pemuka adat menerima islam dan menjadikan sebagai agama.

Agama islam cepat menyebar dan menyatu dalam jiwa masyarakat Minangkabau, terutama raja, penghulu, sampai kaum niniak mamak. Sehingga lahirlah filsafah “ adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” ( syarak berarti agama yang berarti islam). Yang mana sistem adat disandarkan pada hukum, dan hukum mengacu kepada kitab suci Al-qur’an. dimana kerajaan Minangkabau sebelum menetapkan suatu aturan selalu berpedoman pada kitab suci Al-qur’an, serta menggabungkan prinsip-prinsip islam dengan adat istiadat setempat.

Sebelum menganut agama islam, masyarakat Minangkabau menganut ajaran nenek moyang mereka, ada juga yang menganut ajaran hindu-budha. Yang tentunya memiliki kebiasaan dan aturan yang berbeda. Dengan masuknya agama islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan agam tersebut dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat semuanya diganti dengan aturan agama islam.

Agama islam memiliki peranan penting dalam sejarah pagaruyuang. Meskipun kerajaan ini dijalankan secara monarki tradisional, agama ini merupakan agama mayoritas diwilayah Minangkabau. Sebelum islam masuk kerajaan ini sudah memiliki adat istiadat dan tradisi tersendiri, namun adat dan tradisi tersebut tetap ada meskipun masyarakat sudah menganut agama islam.

Keberagaman di Minangkabau yang mendiami pusat kerajaan pagaruyuang terlihat dari cerminan adat dan istiadat traditional yang kuat, baik itu terkait budaya, hukum, maupun struktur sosial. Keberagaman inilah yang membuat masyarakat Minangkabau memiliki tradisi agama yang sangat unik. Keunikan itu dapat dilihat dari perayaan adat dan ritual nya. Adat dan istiadat Minangkabau seperti sistem kekerabatan matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu) dan sistem pemilikan tanah ulayat terus dilestarikan dan dihormati. Dalam konteks keragaman agama tersebut, masyarakat memiliki jiwa toleransi terhadap masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap agama lain seperti kristen, katolik, hindu dan budha. Masyarakat yang menganut agama tersebut memiliki peran dan kotribusi dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi dikerajaan dan wilayah Minangkabau secara keseluruhan.

Toleransi beragama dan saling menghormati keyakinan agama merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi meskipun islam adalah agama mayoritas, keragamaan agama ini diakui dan dihormati sebagai bagian kekayaan budaya dan keberagaman masyarakat Minangkabau di Pagaruyuang. Hal inilah yang menjadi landasan spiritual serta hal yang dihormati dan diakui sebagai identitas Minangkabau.

Seiring dengan masuknya islam dan kentalnya budaya adat istadat di Minangkabau, ada beberapa ritual adat yang bertentangan dengan syariat islam. Seiring dengan zaman yang semakin maju dan pendidikan yang berkembang. 

Masyarakat Minangkabau semakin mendalami dunia islam sehingga terjadi pertentangan dan perdebatan dalam pelaksanaan ritual keagamaan serta adat istiadat. Misalnya dalam hal ritual ibadah dalam berdo’a masyarakat menggunakan kemenyan dan sabut kelapa yang kemudian dibakar dengan harapan asap dari pembakaran tersebut lebih cepat membawa doa mereka ke atas langit menuju Allah. Yang sebenarnya menurut ajaran agama islam perbuatan tersebut merupakan hal yang tidak dibenarkan dan menjadi perilaku syirik. Dalam menyikapi kegiatan takziyah ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, mereka melakukan tradisi mengenang si mayit dengan mengadakan peringatan tujuh hari, empat puluh hari bahkan mengenang seratus hari dari kepergian si mayit. Yang dilangsungkan dengan proses masak-masak oleh keluarga yang ditinggalkan dan disertai doa bersama. Tentunya dalam agama islam tidak pernah mengajarkan untuk memperngati hari-hari tersebut. 

Selain itu dalam masa takziah  sikeluarga yang ditinggalkan meminta warga sekitar atau bahkan membayar sebagian orang untuk membacakan ayat suci alquran di rumah keluarga duka, agar almarhum atau almarhumah menuai pahala yang berlipat sesuai dengan banyaknya ayat yang dibacakan oleh warga sekitar. Padahal notabennya islam mengajarkan kepada kita semua untuk mengenali tiga tanda mempermudah proses hisab yang salah satunya yakni adanya anak yang sholeh, dan tidak akan dipermudah walau mereka membayar orang lain untuk mengkhatamkan alquran dirumah mereka. 

Dalam menyikapi hal ini penulis berusaha menjalankan adab dan tata cara dalam beradat dan beragama. Karena agama merupakan sesuatu yang tidak bisa dicampur adukkan dengan budaya. Agama tidak bisa bersatu dengan budaya dan adat istiadat. Tetapi sebaliknya, adat istiadat bisa disatukan dengan agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun