"Berperang dong, Bu. Kan malam minggu sekarang," muka keriput istriku masih masam, "bikinin kopi setermos, ya." Pintaku.
Istriku ke dapur sambil mengoceh soal bolos ronda, nanti batuk, dan entah apalagi, tapi dibuatkan juga kopi setermos yang kupesan. Malah ditambah satu toples penuh keripik singkong yang masih hangat.
"Makasih, sayang." Kataku menggodanya. Istriku membalas dengan mencubit kulit pinggangku yang kendur.
Arena perangku adalah pos ronda kampung yang berdinding papan di tiga sisi. Saat aku tiba, personilnya sudah lengkap. Ronda malam minggu dipilih para buruh serabutan ditambah aku yang pensiunan guru. Para bapak yang ngantor memilih untuk ngantuk di satu hari kerja daripada menghabiskan weekend di pos ronda.
"Wah, kirain Pak Bekti bolos hujan-hujan begini." Budi menyambutku sekalian menyelamatkan kopi dan keripik yang kubawa.
"Kalau aku bolos, bisa kering mulut kalian tanpa kopi panas." Mereka nyengir kuda bersamaan.
Sepi tanpa TV, entah siapa yang memulai obrolan. Topiknya dari politik sampai olahraga, sampai kehabisan tema, sampai luntang lantung cerita sehari-hari yang terkadang lebih seru dari nonton bola.
"Menurut ramalan Mbah Pono, hari ini Sabtu Kliwon aku bakalan sial,..." Budi memulai topik baru,"... ternyata bener kan, sudah giliran jaga, hujan pula." Tambahnya.
Budi memang rajin pasang lotere dan judi ayam, sehingga cukup akrab dengan dunia perdukunan, ramal-ramalan dan hitung-hitungan nasib.
"Kemarin lusa malah istriku beruntung dapet uang 100 ribu dari teh botol." Jaya menimpali.
"Wah, hati-hati, Ja. Keberuntunganmu pasti sudah dihabisin istrimu kemarin itu. Bakal sial seminggu kamu." Sono mengejek.