Hujan sepertinya ingin menetap di desaku. Sudah berminggu-minggu matahari tak tampak. Langit dipenuhi pemandangan pantat-pantat besar awan kumulonimbus yang hitam. Angin pun bersekongkol. Mereka berlarian di daratan, menggugurkan daun-daun kuning yang putus asa menunggu matahari, tapi tak sedikitpun mengusik awan-awan itu.
Aku disini tak setenang para awan. Istriku berkali-kali mengusikku dengan mengeluhkan daun-daun kuning yang menyumbat sela-sela genting dan membuka jalan bagi hujan untuk menyusup membocori rumahku. Ingin kubilang padanya 'Tunggulah matahari muncul,' tapi aku tahu, itu hanya akan membuat omelannya mulur sepanjang satu kilometer.
Kubuka selimut yang sudah berhari-hari kupakai sampai aroma dan panas tubuhku menempel sempurna padanya. Tulangku mengerang linu saat angin dingin menggelitik menyusup lewat pori-pori kulit keriputku. Kutinggalkan sofa nyamanku. Berbekal jas hujan dan tangga bambu, aku berangkat membersihkan atap.
Pelan kupanjat kaki-kaki tangga yang semakin licin tersiram hujan. Ujung jemariku yang mengeriput kedinginan, menahan tubuhku mendaki tangga yang berkeriut. Ingin rasanya menghisap sebatang rokok mengusir hawa dingin, sayangnya tak mungkin menyalakannya di bawah hujan. Â
Jadi aku menghangatkan tubuh dengan mengomel pada awan-awan yang tepat berada di atasku. Mereka tidak mendengarkanku tentu saja. Mungkin kisahnya akan berbeda seandainya aku bisa mengeluh pada istri awan-awan itu, memohon mereka untuk membawa suami mereka pergi ke daerah lain.Â
Tentu awan-awan itu akan segera mengangkat bokong mereka dari desaku. Tapi kurasa awan tak punya istri, karena itu mereka bisa berkelana menurunkan hujan dimanapun sesuka mereka.
Hati-hati aku menapaki genteng, mengarah ke bawah rimbun pohon rambutan. Dengan bantuan sapu lidi, kubersihkan daun-daun kuning dan hitam yang menyusup di sela-sela genteng hingga air kembali meluncur lancar ke pelimbahan, tak lagi nyasar ke dalam rumah. Kupikir usahaku ini akan memberiku ketenangan meringkuk di bawah selimut lagi.
Tapi nyatanya setelah aku selesai memperbaiki atap, istriku masih saja mengusik dengan omelan tentang hujan yang tak kunjung reda, cucian yang tak bisa kering, halaman yang kotor dan selusin hal lain.Â
Tentu saja dia punya alasan yang bagus untuk mengomel. Setiap istri memiliki gudang penyimpanan sejuta omelan yang akan dikeluarkan setiap hari dalam setiap musim sepanjang tahun.
Lepas isya, aku mengenakan sarung dan jaket. Istriku melirik tajam.
"Mau kemana, Pak?" dia bertanya.