Ujaran Bunda Manda menghentak kesadaran Ayah Calvin. Dia menunduk, menatap anak semata wayangnya. Telah salah langkahkah pria tampan itu? Setengah mati Ayah Calvin mengurus anggota keluarga kandungnya yang sakit. Anaknya sendiri ia abaikan.
Bibirnya membuka. Bersiap meluncurkan permintaan maaf dan sederet penjelasan. Belum sempat rangkaian kata itu terlontar, bunyi dentingan sendok beradu dengan mangkuk terdengar dari luar pagar. Seorang pria gempal melintas dengan sepedanya. Bukan sepeda biasa, sebab di atasnya terisi aneka jenis minuman hangat: kopi, teh, susu hangat, ronde, dan bandrek.
"Bu Manda, Silvi..." panggilnya, tersenyum ramah.
"Waduh, saya mengganggu keluarga bahagia ya? Bu Manda, kasep pisan nya' Ayahnya Silvi. Saya teh juga mau pakai jas kayak gitu." Tunjuk si pedagang minuman hangat ke arah Ayah Calvin.
Ups, mereka lupa. Mereka tinggal di kompleks perumahan sederhana. Kompleks dimana penjual makanan bebas lalu-lalang. Tempat tinggal Bunda Manda jauh sekali bila dibandingkan dengan mansion mewah milik Ayah Calvin di kaki gunung di utara sana.
"Bu Manda, sok atuh diajak masuk Ayahnya Silvi. Karunia..."
Merasa menemukan pembela, Ayah Calvin tersenyum pada pria gempal berkaus biru itu. Bunda Manda menghapus tangisnya. Tangan kiri menarik lengan Silvi, tangan satunya menggamit jemari Ayah Calvin.
"Tunggu." Ayah Calvin menahan penjual minuman itu.
"Saya beli semuanya."
Bunda Manda melotot. Apa-apaan suaminya ini? Di antara mereka, tak ada yang ingin minum minuman hangat saat ini.
Dari saku jasnya, Ayah Calvin mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu. Diserahkannya lembaran-lembaran uang itu pada si penjual minuman.