Sulit, sulit dipercaya. Benarkah pria dalam pelukannya ini adalah Ayah? Ayah yang telah lama dicari dan dirindukan.
Ayah Calvin mengeratkan pelukan. Menciumi rambut panjang Silvi. Ciumannya turun perlahan ke kening. Dapat Silvi rasakan hembusan nafas Ayahnya begitu hangat.
Hangat.
Kehangatan menyusup ke hati. Perlahan tapi pasti, kehangatan berganti kedamaian. Damai seperti yang ditawarkan Bunda Manda dan Opa Hilarius dalam pelukan mereka.
Ya, Tuhan, benarkah ini Ayahnya? Sosok ayah yang selalu diimpikan Silvi. Sosok yang selalu menghiasi doa-doanya, kini berdiri tepat di depan mata.
Hati Silvi melambung ke langit malam. Meraih bulan, menggapai bintang. Hei bulan, hei bintang, Silvi telah bertemu Ayahnya! Kalian boleh iri. Kalian tak punya ayah setampan Ayah Calvin.
Tapi...
Ledakan bahagia itu tak lama. Segera saja kembang api kebahagiaan di hati Silvi meledak buyar menjadi gumpalan asap. Menyisakan gelap, basah, dan dingin. Hangatnya kehadiran sang ayah bertransfigurasi menjadi dingin yang membekukan. Dingin itu bersumber dari kesedihan dan kekecewaan teramat dalam.
Dengan kasar, Silvi melepas pelukan Ayah Calvin. Mata birunya berkilat saat dia beradu pandang dengan sepasang mata sipit. Nyalang Silvi menatap pria yang mengalirkan darah ke pembuluh-pembuluhnya.