Papa yang Jatuh dan Terluka
-Fragmen si kembar
Ruas jalan raya berubah menjadi runway. Lihatlah, sepasang pria tampan berjas rapi melenggang di atasnya. Mereka mengayun langkah, santai namun elegan seolah sedang membawakan busana formal di atas catwalk. Orang-orang melempar pandang kagum ke arah mereka. Terpesona dengan dua pria berparas oriental dan bermata sipit yang memancarkan pesona berbeda. Pria pertama tersenyum ramah pada setiap orang yang menatapnya. Pria kedua memasang ekspresi sedingin baja beku.
"So, apa rencanamu tahun ini?" tanya Adica datar.
Calvin mengalihkan pandang. Nada suaranya lembut dan hangat saat ia menyahut.
"Aku akan pindah. Aku berniat segera menjual properti dan aset-asetku di sini."
Mata Adica kian menyipit. Langkahnya sedikit melambat.
"Pindah katamu? Dengan siapa?" ulangnya heran.
"Dengan Silvi." Jawab Calvin ringan.
Sepotong tangan besi mencengkeram kuat kepala Adica. Sakit, sakit luar biasa. Kakak kembarnya memutuskan pindah dengan begitu cepat dan tanpa mengajak dirinya?
"Kamu tidak akan mengajakku?" Adica mengecilkan volume suaranya saat melempar tanya.
"Terserah kamu akan ikut atau tidak. Yang jelas, aku akan mengajak Silvi."
Perasaan Adica teraduk-aduk seketika. Ia sedih, kecewa, dan marah. Calvin tak lagi menganggapnya penting. Saat akan pindah pun, Adica tidak dilibatkan. Fine, tiada lagi yang menyayanginya. Bodohnya Calvin. Melihat wajah adik kembarnya yang kuyu, ia kira Adica masih sakit.
"Ayo pulang," ajaknya.
"Kamu butuh istirahat."
Sang direktur utama menggeleng lemah. Ia melambai lesu, menyuruh Calvin pulang tanpa kata. Langit di atas bersaput mendung. Cahaya meremang, tetes-tetes air mata jatuh dari langit. Calvin meninggalkan Adica dengan berat hati. Sejumput harapan ia titipkan ke pintu langit. Harapan agar adiknya baik-baik saja.
Semangat Adica meluruh. Calvin akan segera menjual aset-asetnya. Calvin akan pergi, pergi meninggalkannya. Silvi akan dibawanya pula. Hampa, hampa hidup Adica.
** Â Â
Sejak ia pergi dari hidupku
Ku merasa sepi
Dia tinggalkan ku sendiri di sini
Tanpa satu yang pasti
Senja yang basah. Jalanan tergenang air. Hujan berteriak keras. Kesuraman, hanya entitas itu yang tersisa.
Adica berjalan di bawah hujan tanpa pelindung. Jas Hugo Boss itu tak cukup menahan tusukan hawa dingin dan tempias hujan. Di sudut jalan, langkahnya surut. Rasa pusing luar biasa menderanya. Hingga tak lagi terasa, dan...
Tes. Tes.
Bukan tetes hujan, tetapi darah segar. Hatinya mencelos. Pria tampan itu terperangah menatap darahnya sendiri. Seorang Adica mimisan? Bila hidung Calvin yang berdarah, itu lagu lama.
Aku tak tahu harus bagaimana
Aku merasa tiada berkawan
Selain dirimu
Selain cintamu
"Jangan menunduk. Nanti darahmu masuk ke tenggorokan, lalu berlanjut ke paru-paru."
Sebuah suara sopran memecahkan lamunannya. Papa tampan yang tengah patah hati itu menengadah. Matanya beradu pandang dengan sesosok gadis berambut coklat dan berkulit terang. Si gadis menyodorkan sehelai sapu tangan putih. Putih, persis warna jumper dan jeans yang dikenakan gadis itu.
"Terima kasih," gumam Adica lirih, menyeka darahnya.
"Aku memperhatikanmu sejak tadi. Kamu berjalan bersama kakakmu, kan? Kalian mirip..." ceplos si gadis ramah.
"Kembaranku." Sela Adica dingin.
"Ya, kembaranmu. Tapi kamu lebih tampan dari kembaranmu ya. Kenapa kalian berpisah jalan? Kalian bertengkar?" tebak gadis cantik itu.
"Bukan urusanmu! Dan jangan mengatai kembaranku tidak tampan!"
Setelah mengembalikan sapu tangan si gadis, Adica beranjak pergi. Ia patah hati, patah hati luar biasa. Papa mana yang tidak terluka saat akan berpisah dari anak tunggalnya? Apa lagi Silvi lebih memilih Calvin ketimbang dirinya. Tetiba Adica merasakan dirinya tak berharga dan tak dicintai. Seorang Adica Wirawan rupanya tak dicintai siapa pun.
** Â Â
Kirim aku malaikatmu
Biar jadi kawan hidupku
Dan tunjukkan jalan
Yang memang kaupilihkan untukku
"Papa mimisan! Aku takut!" teriak Silvi ketakutan.
Anak cantik itu gemetar dan menangis. Adica paham, sangat paham. Sering melihat Calvin mimisan membuat Silvi trauma.
"Kenapa Papa kayak Ayah? Kenapa Papa mimisan?" tangis gadis bermata biru itu.
Embun menetesi hati Adica. Silvi memperhatikannya, Silvi mencemaskannya. Lihatlah, Silvi menangis hanya karena hidungnya berdarah. Pastilah sedikit aneh, tak sesuai dengan konvensi yang terbentuk di kepala gadis itu. Yang biasa mimisan, kan, Ayah Calvin.
Adica memeluk Silvi dengan lembut. Dibelainya rambut panjang putri tunggalnya penuh kasih. Diciuminya kening Silvi, seperti yang biasa dilakukan Calvin. Mau tak mau Adica merasa ganjil. Dapat dihitung dengan jari berapa kali dia mendekap Silvi dalam setahun. Mencium keningnya tak pernah. Text ignorance, workaholic, dan sedingin es, itulah dia. Tapi senja ini...?
"I don't want to loose you! Papa satu dari sedikit orang yang berdiri di sisiku! Aku tak mau kehilangan Papa!" Silvi terisak hebat, menelungkup di pangkuan Adica.
"Hey Dear, no...no, you don't loose me. I won't leave you. You can cry to me as long as you want. You can lend my shoulder. Trust me, I won't leave you. You can tell me, bad things and good things, hapiness or sadness. I'll be here for you. Ok?"
Lembut, lembut sekali ia menenangkan Silvi. Jangan kira Adica tak bisa selembut Calvin. Darah segar pada luka hatinya telah mengering. Sedikit perasaan berharga mengaliri urat darahnya.
"Papa...Papa jangan sakit seperti Ayah." Rintih Silvi.
"No worries, Dear. I'm completely health."
Kirim aku malaikatmu
Karena ku sepi berada di sini
Dan di dunia ini
Aku tak mau sendiri (Bunga Citra Lestari-Aku Tak Mau Sendiri).