"Maaf aku belum bisa memberi plakat keren itu untuk Ayah."
Perkataan Silvi membuat Calvin membenamkan tangan di rambut gadis itu. Sambil membelai rambut Silvi, ia berucap.
"Ayah sangat bangga padamu, dengan atau tanpa plakat."
SUV hitam meluncur ke dekat mereka. Pintu belakang terbuka. Calvin menuntun Silvi masuk ke mobil. Alunan lagu terdengar dari radio mobil, menemani perjalanan mereka.
"Yah ...kenapa pakai macet sih?" gerutu Adica saat mereka melewati rumah sakit.
"Satnight. Wajar, kan? Tunggulah sebentar, Adica." Calvin berkata menyabarkan, satu tangannya menarik tubuh Silvi agar bersandar padanya.
Cukup lama mereka terjebak macet. Ketika akhirnya perjalanan kembali mulus, Calvin tak tahan lagi dengan lelah di tubuhnya. Penulis dan pengusaha itu terbatuk. Darah segar mengalir dari hidungnya.
"Calvin, kita ke rumah sakit ya. Kamu mimisan dan batuk darah." Adica tak dapat menutupi kecemasan dalam suaranya.
Kantuk Silvi lenyap. Serta-merta ia menegakkan tubuh. Jemarinya mengusap lembut sisa darah.
"Nope. Kita pulang saja. Kasihan Silvi. Dia harus istirahat."
"Tapi ..."