Buru-buru Ayah menutup aplikasinya. Kenapa dia terkesan menyembunyikan isi smartphonenya dariku? Tidak, mungkin hanya perasaanku.
Kupandang Ayah lekat-lekat. Pria pucat itu masih mengenakan apron. Pasti Ayah habis memasak. Rajin sekali Ayahku. Padahal, mudah saja dia meminta bantuan Sonia atau memesan makanan via aplikasi.
"Ayah, kapan Papa baikan lagi sama kita?" tanyaku sedih.
Ayah membelai-belai punggungku. "Kemarahan datang dan pergi pada waktunya, Sayang."
Aku terbelalak. Kata-kata Ayah persis Frater Gabriel.
Setengah jam kemudian, kami sarapan bertiga. Wajah dingin Papa tersembunyi di balik koran pagi. Orang di luar sana akan menganggap Ayah dan Papa aneh karena masih berlangganan koran cetak. Tapi, mereka memang merasa lebih nyaman membaca koran fisik ketimbang berita daring.
"Papa mau roti panggang? Aku ambilin ya," tawarku.
Papa tak menjawab. Ia sibuk membalik halaman korannya. Kusorongkan piring keramik berisi beberapa potong roti panggang. Sedihnya, Papa sama sekali tak menyentuh roti panggang itu. Ayah menatap Papa memohon.
"Adica...anakmu bicara. Dia menawarimu sarapan. Jangan baca koran terus."
"Diam! Kalian sarapan saja sana! Aku tidak lapar!" ketus Papa.
Aku meneguk saliva, miris. Kenapa Papa seketus itu? Kurasakan Ayah mencium ubun-ubunku.