"Tepat sekali. Ayah ingin kita hidup sehat, Sayang. Jangan sampai ada yang kena kanker lagi di keluarga kita."
Wajah Calvin membiru sendu. Silvi sedikit tertunduk. Ah, kanker. Betapa jahatnya penyakit itu. Penyakit yang mengancam nyawa Calvin sewaktu-waktu.
"Ah, maaf. Kok malah sedih-sedihan sih? Kita, kan, mau rayain hari ini. Ayo dimakan, Sayang. Kamu mau makan apa dulu?"
Layaknya sepasang kekasih, mereka saling menyuapi. Silvi memuji kelezatan masakan Calvin. Ayahnya memang berbakat menjadi chef. Kalau Papanya, mana pernah main di dapur? Masak air saja membuat dapur nyaris kebakaran.
"Coba ada Papa ya..." gumam Silvi tanpa sadar.
Kecewa menggumpal di dada Calvin. Mengharapkan Adica membuang waktunya untuk piknik sesulit mengharapkan Miriam Belina menjadi Miss Indonesia. Calvin merasakan betapa besar keinginan Silvi untuk quality time dengan sosok Papa yang dikaguminya.
Sayang sekali, Calvin bukanlah Adica. Paras mereka boleh mirip. Meski demikian, sifat dan kebiasaan mereka berbanding terbalik.
Usai menghabiskan isi keranjang piknik, Calvin dan Silvi bersantai di bukit cantik itu. Bukit sepi sekali. Mungkin karena ini hari kerja dan tanggal tua. Orang enggan jalan-jalan bila berbenturan dengan dua alasan itu. Silvi memanfaatkan sepinya bukit untuk berfoto. Diajaknya Calvin berfoto dalam berbagai gaya.
"Jangan dishare di medsos ya," Calvin tegas melarang.
"Lho kenapa? Ayah kan ganteng. Biar semua teman-teman Silvi iri karena ayahnya Silvi kayak bintang film." bantah Silvi bandel.
Calvin mencubit gemas pinggang Silvi. "Ayah sudah terlanjur nyaman dengan privasi, Sayang. Kamu boleh share di medsos kalau foto sama Papa."