Gurat kecewa terpahat di wajah Silvi. Ia melepaskan tarikan bajunya. Percayalah, ini di luar konteks dewasa dan tidak dewasa, atau manja dan mandiri. Silvi butuh support dari orang tua yang disukainya.
Iba hati Calvin melihat perubahan raut wajah Silvi. Diberinya Adica tatapan mencela.
"Batalkan saja perjalanan ke Singapore. Suruh sekretarismu ganti jadwal." usul Calvin.
Adica tertawa hambar. "Oh tidak semudah itu, kakak kembarku tersayang. Mr. Robert Wang bakal membatalkan kerjasama dengan perusahaan kita. Dia hanya punya waktu minggu depan."
Calvin bersiap meluncurkan argumen. Namun, rasa sakit di dadanya memanipulasi. Sakit ini menyerang saat perdebatan terjadi.
"Adica, batalkanlah. Demi Silvi...uhuk."
Demi mendengar kembarannya terbatuk, Adica menengadah. Silvi ikut berpaling. Susah payah Calvin menahan diri untuk tidak mencengkeram dada di depan Silvi.
"Tolong pikirkanlah. Aku ke kamar dulu. Good night."
Adica menatap nanar punggung kakak kembarnya yang melenyap ditelan tangga pualam. Pastilah Calvin kesakitan lagi. Hanya saja, dia tak ingin Silvi mencium kesakitannya.
"Pa, Ayah kenapa ya? Kok Ayah batuk sambil nahan sakit gitu?" celetuk Silvi.
"Ah, palingan sakit biasa. Ayahmu kan gampang kena batuk. Kalau batuk, lama sembuhnya."