Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Layangan Putus, Pembodohan, dan Diskriminasi Gender

6 November 2019   06:00 Diperbarui: 6 November 2019   06:13 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dengar kisah ini?


Pertama kali Young Lady membaca frasa 'Layangan Putus' dari beranda Facebook yang terus diramaikan dengan topik ini. Semula, Young Lady kira Layangan Putus merupakan cerita anak yang sedang viral. Mengecewakan, ternyata bukan. Alih-alih cerita anak yang berkaitan dengan permainan layangan, Young Lady cantik malah disuguhi kisah basi dan cheessy.

Layangan Putus merupakan kisah yang diunggah sebuah akun Facebook bernama Mommi ASF. Tak jelas siapa sosok itu sebenarnya. Layangan Putus berkisah tentang seorang ibu empat anak yang ditinggal kabur oleh suaminya. Sang suami menikah lagi dan menelantarkan keempat anaknya. Entah cerita ini fiktif atau nyata, yang jelas selebgram berinisial LD dan owner Ammar TV dikaitkan dengan cerita Layangan Putus.

Kalau Kompasianer tanya penilaian Young Lady, tentunya Young Lady akan menjawab: basi, unfaedah, not inspiring, basi, pembodohan, dan mendiskriminasi perempuan. Cerita seperti ini berbahaya karena dapat meracuni pikiran pembacanya. Bagaimana tidak? Laki-laki bebas berkeliaran, menghilang selama berhari-hari, menyakiti perempuan, dan menelantarkan anak. Seakan suatu bukti bahwa laki-laki adalah si superior yang bisanya menyakiti perempuan, dan perempuan adalah makhluk inferior yang pasrah saja saat lelakinya mendua. Bukankah cerita ini bodoh sekali?

Menurut Young Lady cantik, terdapat kejanggalan dalam kisah Layangan Putus. Pertama, suasana cerita sangat tidak cocok bila latarnya terjadi di Bali. Di part 1, ada adegan ketiga putra Mommi ASF pergi ke masjid untuk mengaji Alquran, kumandang azan dari mushala, dan hadiah permen dari ustadzah. Helloooo, ini Bali. Provinsi dengan Muslim sebagai minoritas.

Suara azan, masjid, mushala, dan ustadzah tak semudah kalau kita mencarinya di Bandung atau Jakarta. Selama Young Lady di Bali, tak pernah terdengar namanya azan Maghrib berkumandang keras-keras seperti di Bandung. Kedua, bila si Mommi ini kesulitan secara finansial, kenapa masih punya pembantu dan masih punya mobil?

Dalam part 1, dikisahkan Mommi ASF mendapat surat ancaman pemutusan aliran listrik dari PLN dan ia resah memikirkan SPP anaknya yang belum dibayar. Tapi, kenapa ia masih bisa menjemput anaknya dengan mobil dan memiliki asisten rumah tangga? Logikanya, mudah saja ia menyelesaikan masalah listrik dan SPP bila Mommi ASF benar-benar terjerat masalah ekonomi. Jual saja mobilnya, lalu berhentikan asisten rumah tangganya. Gampang, kan? Ketiga, Mommi ASF mengaku lulusan Pendidikan Kedokteran Hewan dari Universitas Udayana.

Namun, mengapa ia tidak bekerja sebagai dokter hewan? Mengapa ia masih mengalami kesulitan ekonomi pasca bercerai dari mantan suaminya? Tak sulit baginya untuk menghidupi keempat anaknya bila ia berpraktik sebagai dokter hewan. Bodoh dan tidak wajar bila ilmu kedokteran yang dipelajari tidak digunakan untuk berkarier. Kemana saja si ASF selama ini? Keempat, mantan suaminya tidur di kamar terpisah sejak kelahiran anak kedua. Alasannya, ingin ketenangan dan tak suka suara tangis bayi.

What? Ayah macam apa yang tak suka mendengar suara tangis bayinya? Jelas ia bukan ayah yang baik. Dan makin terbukti setelah ia menelantarkan anak-anaknya. Kelima, suaminya pemilik channel dakwah dan menjaga pandangan pada wanita yang bukan mahramnya. Namun, kenapa pria bodoh itu akhirnya kabur dengan istri muda? Bukankah inkonsisten? Siapa pun yang kenal laki-laki ini, jangan percaya setiap perkataannya. Ia menjilat ludahnya sendiri.

Semoga para perempuan penikmat cerita ini tidak mau dibodohi. Inilah kelemahan sebagian besar perempuan: baperan dan mudah terbawa emosi. Mereka mau saja dicekoki cerita yang menjual derita kaumnya. Baik pembaca, penulis, penikmat, dan penyebar cerita Layangan Putus sama-sama salah. Penulis bersalah karena mengunggah konten yang menjual diskriminasi perempuan.

Pembaca, penikmat, dan penyebar cerita bersalah karena mau saja mengonsumsi konten berselera rendah tanpa pesan moral. Dan yang paling salah adalah laki-laki yang diceritakan dalam Layangan Putus. Ayah sejahat itu, neraka yang berkobar-kobar balasannya. Di luar sana ada banyak pria baik hati plus ayahable yang tak punya keturunan, si pria itu malah menyia-nyiakan keempat anaknya.

Benar, cerita Layangan Putus tak ada pesan moralnya. Kisah itu sama sekali tidak menginspirasi. Sampah tetaplah sampah. Apakah pelajaran moralnya, tiap lelaki harus mendua? Apakah pelajaran moralnya, tiap lelaki harus meninggalkan istri tua di masa jaya dan kabur dengan istri muda?

Nah, tentu saja tidak, kan? Bila semua laki-laki sejahat mantan suami Mommi ASF, lebih baik perempuan selibat sekalian seumur hidup. Namun bila setiap lelaki seideal Pak Habibie, Alm. Ferry Wijaya, Atticus Finch, dan "Calvin Wan", silakan menikah.

Kompasianer, setujukah kalian jika cerita Layangan Putus merupakan pembodohan semata?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun