Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanggapan Kasus KPAI vs Djarum dari Anak Kecil yang Merasa Tidak Dieksploitasi

13 September 2019   06:00 Diperbarui: 13 September 2019   06:02 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum mengajak kalian berdiskusi, Young Lady cantik mau kalian lihat video ini dulu.


Dan ini


Ok, good. Soal Djarum vs KPAI tengah hangat-hangatnya diperbincangkan setajam...silet. Di sini Young Lady berusaha tidak memihak atau menyalahkan siapa pun. Young Lady hanya ingin memberi tanggapan dari sisi anak-anak.

Sebagai mantan anak kecil yang sering ikut ajang prestasi setiap tahun, Young Lady cantik tidak merasa dieksploitasi. Young Lady bahagia mengikuti event demi event. Enak malah, bisa dispen dan tidak ikut pelajaran. Nilai ujian aman sebab terbantu prestasi nonakademik.

Benar bahwa waktu main jadi berkurang. No problem, toh proses itu masih bisa dinikmati. Alih-alih main, Young Lady latihan vokal, belajar menulis cerita, siaran radio, bahkan main film dalam project yang disodorkan seorang teman, dan pernah fashion show juga. 

Hari Minggu, yang biasa dipakai anak untuk bermain atau tidur sampai puas, malah digunakan Young Lady untuk menghibur teman-teman yang masih kecil dengan membawakan program radio "Aksis Kecil". 

Asyiknya, dari kecil Young Lady sudah punya fans. Pernah anak-anak itu datang ke radio hanya untuk salaman sama Young Lady cantik.

Tiap kali ada ajang ini-itu, orang tua selalu mendampingi Young Lady. Apakah Young Lady merasa dieksploitasi? Nope. Justru Young Lady yang mengeksploitasi uang ortu. Buat hotel, baju, dan bayar pelatih berkompeten sebelum hari H. Tapi orang tua senang-senang saja. Begitu pula Young Lady.

Well, jadi ingat masa-masa manis itu. Prepare sebelum ajang ini-itu. Menyiapkan baju, latihan berminggu-minggu, dispensasi dari sekolah (itu yang paling menyenangkan karena tidak usah sekolah dengan izin khusus), menjadi kebanggaan sekolah, datang ke hotel sehari sebelum event, dan pulang membawa kemenangan lalu merayakannya bersama sepupu. Biasanya ada perayaan kecil di rumah kalau Young Lady pulang membawa kemenangan.

Ah, masa-masa manis yang telah lewat. Tapi akan tetap menjadi kenangan terindah. Salah satu cara Young Lady mengabadikan kenangan di masa kecil dengan menulis novel Dear Malaikat Izrail. Sebagian ceritanya pernah dimuat di Kompasiana. 

Novel Dear MI terinspirasi dari kenangan pribadi di masa kecil, respek Young Lady pada Idola Cilik, dan ungkapan perasaan untuk "Calvin Wan" dari sisi ayah potensial. 

So, gambaran Jose Gabriel Calvin, Andrio dan kawan-kawan adalah cerminan Young Lady waktu kecil, anak-anak Idola Cilik, dan anak-anak yang mengasah bakat sejak masih belia.

Salahkah bila anak-anak lebih suka mengasah bakat dibandingkan bermain? Membaca rentetan artikel yang ditulis Kompasianer terkait pro kontra Djarum vs KPAI membuat Young Lady sedih. 

Mereka menulis dengan ego orang dewasa. Mereka hanya melihat kasus ini lewat kacamata mereka saja. Tidak ada artikel yang benar-benar memihak anak-anak berbakat itu. 

Semuanya merasa benar dengan pandangan masing-masing. Kebanyakan artikel hanya menyoroti Djarum dan KPAI, bukan menyoroti sudut pandang anak-anak yang menjalaninya. Orang dewasa memang aneh.

Ini pun menjadi salah satu motivasi terbesar Young Lady untuk mengajar. Ya, Young Lady ingin sekali mengajar. Makanya Young Lady merintis beasiswa LPDP untuk lanjut studi S2. 

Young Lady ingin mengajar agar bisa membentuk generasi muda menjadi generasi berprestasi dan menginspirasi. Dari pada mereka tenggelam dalam gadget autism, lebih baik mereka diarahkan menjadi bintang dengan bakat sesuai passionn mereka. 

Young Lady ingin merasakan asyiknya mendampingi generasi muda di ajang-ajang berprestasi, melihat bakat mereka menghasilkan inspirasi, dan memotivasi mereka agar menjadi bintang. Kalau bekerja di kantor, Young Lady hanya akan bertemu orang dewasa. 

Pengalaman membuktikan bahwa bekerja dengan orang dewasa membuat hati tidak bahagia. Pekerjaan di kantor tidak menyentuh secara langsung kehidupan orang lain. 

Beda halnya kalau mengajar. Bisa bercengkerama dengan generasi muda, mempengaruhi mereka dengan hal positif, dan menemani mereka mengikuti ajang berprestasi.

Kalian pilih mana? Anak yang main-main tidak jelas dan terjerumus hal negatif, atau anak berbakat yang menjadi bintang?

Cobalah Kompasianer tanya ke dalam diri kalian. Kalau kalian balik jadi anak kecil lagi, kalian lebih suka disuruh main atau ikut kompetisi prestatif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun