-Silvi-
Kalian tahu apa perayaan ulang tahun terindah?
Pesta mewah di private room? No.
Candle light dinner? Nope, karena seorang Silvi tidak mungkin mendapatkannya.
Garden party lengkap dengan tumpukan kado, bunga, dan lilin? Tidak mungkin juga, sebab Silvi Mauriska tidak punya teman.
Ada cara yang lebih baik. Jauh lebih baik. Yaitu dengan luka.
Ya, self harm adalah perayaan ulang tahun paling luar biasa. Self harm adalah pesta ulang tahun teristimewa. Luka adalah dkorasi pesta. Darah adalah wellcome drink. Baju belepotan noda merah adalah dress codenya. Birthday cake dan lilin kalah nikmat dibanding luka yang diguratkan dalam tubuh.
Di kala sepi menyergap, di situlah kuhadirkan "Revan" dalam hidupku. Ia pria Manado Borgo yang tampan dan bermata biru. Jika Calvin punya batas waktu dalam menemaniku, Revan tidak. Dia membersamaiku 24 jam. Sebab Revan adalah versi laki-laki dari Silvi.
Revan kembar denganku. Bedanya, ia berambut pirang. Sementara aku berambut hitam. Tak masalah, kami tetaplah bagian yang sama.
Jika Calvin hanya mencintai tubuhnya sendiri dengan tidur berjam-jam, Revan tidak seperti itu. Sebab dia tidur di dalam ragaku. Bila Calvin hanya cinta dengan rumahnya, Revan mencintai tubuhku dengan mendukungku untuk melukainya. Ia tahu apa yang kusuka.
Bicara tentang kesukaan, aku menyukai penampilan Revan. Dia berbeda dengan kebanyakan rekan-rekan penulisku yang tampil urakan dan berantakan. Revan terbiasa tampil rapi dengan jas biru yang sesuai dengan warna matanya. Dia mengajar dengan hati tulus, namun dingin di luar. Sepanjang hidupnya, Revan terjerat sepi. Ilmu Psikologi yang diajarkan dan dipelajarinya tak membantu mengusir kesepian.
Besok adalah hari lahir kami berdua. Aku sudah punya cara terindah untuk merayakannya: self harm. Selamat tinggal kulit cantik. Selamat datang luka-luka.
-Revan-
Revan Tendean namaku. Biru mataku. Pirang rambutku. Putih kulitku. Dan tampan wajahku.
Aku senang menemani Silvi. Sebetulnya, dia gadis yang menyenangkan andai saja tidak kesepian dan ditinggalkan. Silvi sangat cantik. Aku senang terlahir sebagai versi pria dari dirinya.
Telah kubulatkan janji untuk menemani Silvi selamanya. Bahkan, Calvin kalah dariku. Ah, si Calvin itu. Aku memang bersahabat dengannya juga. Namun, dia tetap bukan tandinganku dalam hal waktu.
Luka Silvi adalah lukaku. Darahnya adalah darahku. Kepedihan Silvi kepedihanku juga. Karena kami satu tubuh, karena kami satu jiwa.
Kalian sadar kan? Bila aku anggota keluarga besar "Calvin Wan series" yang tidak pernah tercium jejaknya? Tidak ada medsosnya, tidak ada jejak digitalnya, pokoknya tidak meninggalkan jejak. Itu semua karena jejakku menempel di tubuh Silvi.
Kami disatukan oleh mata. Mata yang berwarna sama. Kedua mataku biru, mata biru yang indah persis mata Silvi. Kupercaya bahwa mata biru itu luar biasa indah. Terlebih, di negeri dengan populasi penduduk bermata hitam dan coklat.
Sering aku merasa kesal. Tiap kali aku pergi keluar, ada saja orang-orang yang menatapku penasaran. Aku resah ditatap begitu. Memangnya aku ini boneka? Benar mataku indah, namun jangan tatap mataku seperti itu.
Beberapa orang menyangka diriku "Orang Barat". Tuhan, izinkan aku tertawa. Apa maksud mereka dengan "Orang Barat"? Memangnya orang Indonesia tidak berhak punya mata biru?
Ah sudahlah. Dari pada ribut dengan mata biru, lebih baik kubantu Silvi merayakan ulang tahunnya yang kian dekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H