Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyandang Disabilitas atau Orang Spesial?

30 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 30 Juli 2019   06:48 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu membaca kata pengantar di sebuah buku, hati Young Lady tergelitik. Karena apa hayooo? Eits, bukan karena dikelitikin ya. Hati ini tergelitik dengan dua kata: penyandang disabilitas.

Ya, hanya dua kata. Tapi efeknya menggelitik hati. Berlanjut jadi perasaan terusik. Ok Dear, kita mulai dari definisi dulu ya.

Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang Disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual. Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang "PenyandangCacat".

O-ow, jadi, istilah disabilitas hadir untuk menggantikan istilah cacat. Hmmm, cacat. Lebih kasar lagi ya.

Secara etimologi, kata disabilitas berasal dari Bahasa Inggris, disability. Disabilitas berbeda dengan difabel (different ability) yang berarti kemampuan berbeda. Orang dengan kemampuan berbeda belum tentu dikategorikan disable. Sedangkan disabilitas jelas-jelas mengarah pada arti ketidakmampuan seseorang secara fisik, mental, kognitif, emosional, sensorik, atau kombinasi dari itu semua.

Disabilitas merujuk pada gangguan, keterbatasan beraktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan yang dimaksud bisa bersifat fisik, mental, dan kedua-duanya. Akibat dari gangguan ini membuat penyintasnya memiliki keterbatasan untuk melakukan aktivitas tertentu. Ruang gerak untuk berpartisipasi pun tak seluas orang tanpa gangguan fisik dan mental. Dapat dikatakan disabilitas merupakan fenomena kompleks yang melibatkan tubuh dan pandangan masyarakat.

Ada beberapa klasifikasi disabilitas. Disabilitas A, sebutan lainnya tunanetra (tidak bisa melihat/buta, low vision). Disabilitas B, tunarungu (tidak dapat mendengar). Disabilitas C, tunawicara (tidak dapat berbicara). Disabilitas D, tunadaksa (cacat tubuh). Disabilitas E1, tunalaras (cacat suara, cacat nada). Disabilitas E2, tunalaras (kesulitan bersosialisasi dan mengendalikan emosi). Disabilitas f, tunagrahita (kelainan mental, kelainan pikiran, daya tangkap yang lambat). Dan yang terakhir adalah disabilitas G, tunaganda. Penyintasnya memiliki lebih dari satu jenis kecacatan.

Hmmm banyak juga ya klasifikasinya. Back to focus. Tidakkah penyebutan penyandang disabilitas terkesan memarginalkan?

Young Lady sendiri lebih suka membiasakan penyebutan orang spesial dibandingkan penyandang disabilitas. Kebiasaan ini pun diikuti malaikat tampan bermata sipitku Mr. Calvin Wan. Rasanya terdengar lebih halus, lebih sopan, dan lebih istimewa. Penyebutan penyandang disabilitas cenderung merendahkan dan menciptakan kesan inferior. Hanya karena penyintasnya memiliki gangguan yang membatasi ruang gerak, bukan berarti mereka layak direndahkan.

Orang-orang dengan keterbatasan fisik dan mental adalah orang spesial. Tuhan menciptakan mereka dengan alasan mulia: agar manusia normal lainnya pandai bersyukur. Golongan orang spesial ini dijanjikan Tuhan akan berlimpahnya karunia di dunia dan akhirat. Di mata Tuhan, tak ada produk gagal. So, mereka yang punya keterbatasan fisik dan mental bukanlah produk gagal ciptaanNya.

Di lingkungan pendidikan pun tak ada istilah 'sekolah disabilitas' atau 'pendidikan difabel'. Penyebutannya adalah 'sekolah luar biasa'. Program studi untuk calon guru SLB bernama 'pendidikan khusus' dan 'pendidikan luar biasa', bukan pendidikan difabel apa lagi pendidikan cacat. Nah, kurang spesial apa cobaaa?

Orang-orang dengan keterbatasan fisik dan mental menjadi spesial karena kelebihan dalam diri mereka. Mereka pun spesial lantaran kebutuhan dan perhatian lebih yang mereka perlukan.

Di sekolah luar biasa, Young Lady menemui banyak murid spesialnya yang diberi wajah rupawan oleh Tuhan. Ada siswa laki-laki penderita autis berparas oriental. Kulitnya putih dan parasnya tampan. 

Autisme tidak memudarkan pesona wajahnya. Ada pula murid perempuan yang tidak bisa melihat sekaligus punya kelainan mental, tetapi parasnya sangat cantik. Murid perempuan ini bisa bermain piano.

Young Lady pun kenal dua gadis berkursi roda berparas cantik. Ya, mereka duduk di kursi roda tetapi cantik sekali. Cantik wajahnya, cantik pula pribadinya.

Mereka yang punya kebutuhan khusus adalah minoritaas. Jumlahnya saaaangat sedikit. Feeling mereka biasanya lebih peka. Orang-orang spesial lebih mudah mengenali mana orang baik dan mana yang tidak. 

Spontanitas mereka dalam mengekspresikan kasih sayang cukup tinggi, misalnya dengan tiba-tiba memberikan pelukan pada orang lain, tak peduli itu pria maupun wanita.

 Ekspresi kasih sayang dari orang spesial tidak bisa disetting/direkayasa. Mereka bisa merasakan tubuh mana yang dapat dipeluk dan mana yang tidak.

Sayangnya, orang spesial sering kali tidak dipahami. Mereka pun tidak semudah itu mengkomunikasikan perasaan dan isi hati. Ada kalanya lingkungan memperlakukan mereka dengan tidak adil hanya karena kurangnya pemahaman. 

Anyway Young Lady paling benci kalau ada orang spesial yang diperlakukan dengan kasar, ditinggal sendirian, ditolak, dan dikucilkan.

Di rumah besar Kompasiana, kita punya satu Kompasianer spesial yang luar biasa. Siapa yang tidak kenal Ibu Christie Damayanti? Stroke survivor yang telah menulis dua puluh dua buku. Wanita luar biasa yang berkeliling banyak negara dengan kursi roda ajaibnya. Nah kan, golongan orang satu ini memang spesial.

Dalam cerita-cerita Calvin Wan series, Young Lady tak lupa menghadirkan tokoh-tokoh berkebutuhan khusus. Biasanya mereka menjadi spesial karena diceritakan memiliki penyakit atau kelainan fisik. 

Meski terbatas secara fisik, tokoh-tokoh ini digambarkan tampan luar-dalam, berbakat, dan sangat pintar. Perjuangan mereka lebih berat. 

Selain terbatas fisiknya, mereka pun merasakan perihnya stereotip sebagai warga Indonesia keturunan asing. Sudah orang spesial, dari etnis keturunan asing pula. Misalnya, kisah Andrio si ketua kelas paling top (Dear Malaikat Izrail), Jose di Serial Calvin, Jose, Alea, dan masih banyak lagi.

Kompasianers, mulai sekarang, bisakah kalian memahami penyebutan orang spesial?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun