Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Secret Admirer

16 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 16 Juli 2019   06:04 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secret Admirer

Sabtu depan datang terlalu lambat. Jose tak sabar ingin bertemu lagi dengan pengantar bunga misterius. Ia mengagumi gadis kecil itu. Ingin sekali Jose berteman dengannya. Lebih dari itu, Jose ingin menjadikan si pengantar bunga misterius sebagai adik.


Terlahir sebagai anak tunggal, Jose tak tahu rasanya punya adik. Ia pun tidak berharap banyak pada pernikahan Ayah-Bundanya. Lebih baik dia cari sendiri. Sosok adik cantik itu telah ditemukan.

"Kamu semangat banget ke rumah sakitnya. Ada apa sih?" tegur Bunda Alea menyelidik.

Ayah Calvin tersenyum kecil. Membelai lembut tangan istrinya.

"Kamu ini gimana, Alea? Baguslah kalau Jose semangat terapinya..."

Bunda Alea setengah hati mengiyakan. Ia yakin ada yang disembunyikan.

Sesampai di rumah sakit, Jose bergegas mencari pengantar bunga misterius. Ia berputar-putar mengelilingi rumah sakit. Keluar-masuk lift, naik dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Voilet, dia bertemu pengantar bunga misterius di unit onkologi. Si gadis kecil tengah membagi-bagikan bunga pada beberapa pasien kanker yang baru selesai kemoterapi.

Sekali lagi, dada Jose berdesir kagum. Diikutinya si gadis keluar dari unit onkologi. Ia lihat gadis bergaun kotak-kotak itu berdiri terpaku di depan mesin penjual otomatis. Mata birunya nanar menatap kosog daftar harga dan pilihan minuman.

Tunggu tunggu. Jose baru sadar. Kenapa tatapan gadis itu kosong? Matanya indah, wajahnya cantik, tetapi pandangannya kosong seolah tak fokus.

"Kamu mau beli minuman?" tunjuk Jose ke arah mesin penjual otomatis.

Si gadis tetap berdiri dengan bibir terkatup. Tanpa diminta, Jose memilihkan jus jeruk dan memberikannya pada gadis itu. Si pengantar bunga misterius menerimanya dengan canggung.

"Eits, jangan pergi dulu. Tunggu aku di taman ya. Jangan kemana-mana."

Setelah berkata begitu, Jose kembali ke unit hematologi. Ingin rasanya cepat-cepat selesai terapi. Dalam hati, Jose berdoa agar efek samping terapi hari ini tak terlalu berat. Minggu lalu, phlebotomy membuatnya merasakan nyeri hebat dan perdarahan.

"Tadi ketemu siapa, Sayang?" Dokter Tian menanyainya. Tangannya lembut membalurkan cairan antiseptik ke siku Jose.

"Pengantar bunga misterius," jawab Jose pendek.

Dokter Tian mengangguk-angguk, senyumnya melebar. Kalau Jose menyebut gadis kecil itu pengantar bunga misterius, Dokter Tian menyebut Jose secret admirer.

**   

Doa Jose terkabul. Ia baik-baik saja setelah terapi. Langsung saja ia menuju taman.

Sekali lagi, Tuhan meluluskan permintaannya. Gadis kecil itu duduk manis menunggunya. Laptop terbuka di pangkuannya. Jemari ramping si gadis menari lincah, mengetikkan kalimat-kalimat.

Diam-diam Jose membacanya. Seperti sebuah cerita. Apakah gadis ini penulis cerita? Atau mungkin novelis?

Nampaknya gadis itu tak sadar Jose sudah datang. Dia tenggelam dalam tulisan. Jose pun bingung harus mulai dari mana lagi untuk berinteraksi dengan gadis kecil yang dikaguminya.

Sebagai gantinya, ditulisnya sebuah surat. Surat pendek itu dia jejalkan ke tangan si gadis. Pengantar bunga misterius menggeleng. Ditunjuknya matanya, lalu dikibaskannya kertas surat.

Seperti ada yang menekan tombol lampu di kepala Jose. Kesadaran menghantamnya keras. Gadis ini...istimewa.

**   

Lebih dari sejuta bintang

lebih dari seribu malam

lebih dari puncak tertinggi

lebih dari dalamnya lautan

Kekagumanku padamu

tak terbatas oleh waktu

kekagumanku pada dirimu

lebih luas dari samudera

lebih indah dari angkasa

lebih dari sgalanya (Tompi-Kekagumanku).

Jose menyelesaikan permainan pianonya. Hati ini masih diberati tanda tanya. Lewat beberapa baris kalimat yang mengendap dalam ingatan, dicarinya tulisan karya si pengantar bunga lewat internet.

Benar saja. Gadis itu blogger cilik. Dia menulis banyak cerita. Cerita-cerita sederhana tentang indahnya toleransi.

"Anak Ayah baca apa? Serius banget kayaknya..."

Suara bass manly khas Ayah Calvin memutus keasyikan Jose. Cepat ditutupnya tab. Detik berikutnya, Jose sudah menempel erat di pelukan Ayahnya.

"Ayah, Bunda dimana?"

Pertanyaannya terjawab seketika. Bunda Alea turun dari lantai atas. Satu tangannya memegang kapas sisa pembersih wajah. Diciumnya kedua pipi Jose.

"Ayah...Bunda, Jose pengen punya adik."

Mahligai tersambar petir. Betapa kagetnya Ayah Calvin dan Bunda Alea. Apa pun, apa pun selain adik, mampu mereka usahakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun