Sesaat ia tertegun dengan ucapannya sendiri. Dua kata itu, jawaban yang sering dilontarkan perekat jiwanya.
"I see the fear in your eyes." ucap si pria bule penasaran.
Tuhan mendatangkan keresahan di gedung berlapis kaca itu. Keresahan hinggap di kepala pemimpin project kesetaraan gender. Seorang wanita tangguh, cerdas, berpendidikan tinggi, dan cantik jelita meresahkan seorang pria. Pria yang berbulan-bulan ini jauh dari rengkuhannya.
Dering telepon membuat Alea terselamatkan dari keharusan menjawab. Suara soprano milik sekretarisnya terdengar.
"Bu Alea, ada telepon untuk Anda di line 1. Mau diterima? Atau Anda sibuk?"
"Dari siapa?"
"Dari Pak Calvin."
Jantung Alea bagai berhenti berdetak. Untuk apa Calvin meneleponnya ke kantor jelang makan siang begini? Tidakkah ada sesuatu yang gawat? Tapi...
"Tolong katakan saya sibuk," desahnya.
Klik. Telepon ditutup. Alea bersandar letih ke kursi putarnya. Pria bule itu masih di sana.
"Madam Alea, why don't you accept a call from your husband?" selidik si pria bule.