"Kapan punya anak?"
"Kapan nambah anak lagi?"
"Kapan punya cucu?"
Dan rentetan "kapan-kapan" lainnya. Bagaimana perasaan kalian kalau ditanya-tanya begitu? Dari Lebaran ke Lebaran, selalu saja harus ada tuntutan dari keluarga untuk mencapai siklus hidup sesuai ekspektasi mereka. Padahal nyatanya, hidup semua orang penuh liku.
Lalu ujungnya, mereka akan membandingkan dengan si A, si B, si C yang sudah begini dan begitu. Bukankah itu menyebalkan sekali? Tanpa sadar, keluarga memaksa kita terus melihat ke atas kala Lebaran tiba.
Sebuah pemaksaan yang ironis. Kita, yang maunya rileks dan happy di hari kemenangan, justru ditekan dengan banyaknya pencitraan, pamer, dan pertanyaan sensitif. Capek kan? Lebih baik sekalian saja tidak usah berhari raya.
Lebaran membuat minoritas seperti Young Lady makin tersisih. I hate Ied Mubarak. Lebaran membuat orang yang berbeda, baik dari segi profesi dan love story, jadi makin terpinggirkan. Sebab yang lain cenderung terpaku ke opini kaku yang berlaku umum. Bhawa sukses harus begini dan begitu, kisah ccinta yang mulus harus begini dan begitu.
Kalau seremonialnya terlihat begitu buruk, buat apa menanti-nanti Lebaran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H