Kejadian itu makin membuat Jose trauma pada hari raya. Ia pun baru tahu kalau tubuhnya gampang luka dan memar. Persis seperti Ayah Calvin.
Ada apa dengan dirinya? Kenapa tubuh ini lebih cepat lelah? Kenapa tubuh ini mudah terluka? Belum lagi rasa sakit yang menghebat di kepalanya waktu ia bermain piano.
Untuk pertama kalinya, Jose cemas dengan dirinya sendiri. Biasanya ia lebih banyak memikirkan Ayah Calvin. Bagaimana bila penyakit itu menurun padanya? Bukankah Ayah Calvin juga mewarisi penyakit itu dari Papanya?
"Ayah...gimana kalo darah Jose ada kelainan juga? Nanti Jose harus minum obat tiap hari kayak Ayah." Jose curhat pada Ayahnya dua hari sebelum hari raya.
"Semoga tidak. Semoga kamu tetap sehat." ujar Ayah Calvin lembut.
Darah segar mengalir dari hidung Jose. Dengan lembut, Ayah Calvin mengusap beersih noda-noda darah. Dibaringkannya Jose di pangkuannya. Membiarkan anak itu mencari kenyamanan di sela rasa sakit.
Sakit ini tak sebanding dengan kesedihannya. Jose masih bertanya-tanya. Mengapa hari raya selalu menyimpan duka? Mengapa duka tertumpah sementara di tempat lain kegembiraan tercurah?
Kepalanya serasa terbelah. Obat-obatan dan pemeriksaan dokter kemarin tak ada artinya. Rasa sakit teramat parah hingga membuat Jose muntah.
"Maaf, Ayah. Jas Ayah jadi kotor..." sesal Jose.
"No problem, Son...no problem."
Kecemasan Jose terus membesar. Bagaimana bila darahnya mengalami pengentalan juga? Bagaimana bila bekuan darah itu menggumpal di organ-organ tubuhnya? Bagaimana bila Jose tak bisa bermain basket lagi karena sakit? Tidak, Jose tidak boleh takut. Jose harus tegar seperti Ayah Calvin.