Dan di dunia ini
Aku tak mau sendiri
** Â Â
Sampai sore membentangkan cahaya lembutnya di langit, Ayah Calvin belum kembali. Artinya, hari ini Jose harus berbagi sendirian. Dikayuhnya sepeda balapnya keluar kompleks perumahan. Lewat deretan tiga rumah ibadah yang berpagutan mesra: gereja, vihara, dan masjid.
Satu kilometer dari kompleks perumahan elite, terdapat ruas jalan cukup luas. Di bulan mulia, jalan itu jadi lokasi jualan makanan menjelang senja. Orang-orang lalu-lalang berburu makanan. Jose sama sekali tak tertarik. Kata Ayah Calvin, makanan di pinggir jalan tidak sehat.
Tatapan Jose terfokus ke arah serombongan lelaki berbaju lusuh di trotoar. Mereka duduk menyemut di dekat para pedagang makanan. Gurat keletihan tertinggal di wajah mereka, sisa rasa setelah bekerja memeras keringat seharian. Dalam sekejap, gurat-gurat letih terurai menjadi senyum bahagia kala Jose membagikan sedikit kemewahan yang manis.
Jose paham, sekelompok lelaki pekerja kasar itu tak punya cukup uang untuk membeli makanan. Mereka hanya bisa menatap miris jajaran makanan di depan mata. Namun, mereka tak perlu bersedih lagi.
"Saya juga mau...apa masih ada, Nak?"
Suara serak dan kasar itu menghentikan langkah Jose. Ia berbalik lagi. Astaga, bukankah itu pria berkursi roda yang dibenci para pekerja kasar?
Pria berkursi roda itu adalah bos para pekerja kasar. Banyak orang mengatainya lintah darat. Jose tak tahu apa artinya itu. Yang ia tahu, si pria berkursi roda suka meminjam uang dan mengangkuti barang-barang dari rumah orang lain.
"Saya mau..." pinta pria berkursi roda itu tak tahu malu.