Dia takkan pernah melupakan ketiga orang berbaju hitam itu. Merekalah yang melubangi punggungnya dengan peluru-peluru. Merekalah yang menghancurkan gereja, masjid, dan vihara. Tiga orang itu telah dihukum.
Perlahan Andrio mengalihkan tatapan ke pintu kedua. Tampak sebuah taman luas disinari cahaya mentari. Taman itu indah sekali. Penuh bunga, bangku-bangku berukir, dan sungai susu. Sungai susu? Persis yang digambarkan dalam kitab suci. Sebuah meja besar di tengah taman penuh berisi buah-buahan dan makanan lezat lainnya.
Tapi, kenapa taman itu kosong? Berbeda jauh dengan ruangan penuh kobaran api menyala-nyala. Susah payah Andrio bangkit. Ingin sekali bermain di taman itu. Mungkinkah Jose, Livio, dan Hito ada di dalam sana?
Brak!
Pintu pertama dibanting menutup. Entah kenapa, Andrio merasa lega. Ia telah terpisah dari orang-orang yang membenci perbedaan. Buat apa hidup bila tak bisa menerima perbedaan? Mereka layak dihukum seperti itu.
Terhuyung ia berjalan memasuki pintu kedua. Dugaannya keliru. Tak ada Jose, Livio, dan Hito. Kelegaannya berganti kekecewaan.
"Kalian dimana? Kalian dimana?" Andrio terus bertanya-tanya.
Sejak memasuki taman, hatinya terasa begitu tenang. Taman ini sepi dan menenangkan. Rasa sakitnya lenyap. Bahkan Andrio merasa lebih sehat daripada sebelum ia terkena leukemia.
Tapi tetap saja Andrio rindu Ayah Calvin dan sobat-sobatnya. Masih ada dorongan kuat untuk mencari mereka. Cepat-cepat dia kembali ke lorong. Dilihatnya bercak darahnya sendiri menodai lantai. Hati kecilnya mengatakan, dia takkan bertemu mereka dalam waktu lama. Lalu sampai kapan?
Tiba-tiba terdengar suara isakan. Ia menoleh ke belakang. Jose, itu Jose! Berdiri dengan wajah sembap dan mata merah. Tergesa Andrio mendekat, hendak memeluknya. Tapi...kenapa Jose tak bisa dipeluk?
"Andrio, jangan pergi." Jose terisak-isak.