Ayah Berhati Lembut
Hari ini libur. Jose, Andrio, Livio, dan Hito pergi bersama. Kata Andrio, ada kedai es krim yang baru buka di depan kompleks. Mereka ingin mencobanya.
Mereka tidak berjalan kaki, tidak juga naik mobil. Di pagi yang cerah itu, mereka naik sepeda balap. Adu cepat ke gerbang kompleks. Siapa yang menang, boleh makan es krim sepuas-puasnya.
Bisa ditebak siapa yang menang. Livio tak begitu lancar naik sepeda. Kayuhannya pelan sekali. Sejak sakit, Andrio tak kuat naik sepeda cepat-cepat. Sepeda Hito masih baru. Dia takut merusaknya. Jose sudah biasa naik sepeda. Dia pun jadi pemenangnya.
"Yes! Dapat es krim gratis!" serunya girang.
Andrio, Livio, dan Hito hanya tersenyum. Mengaku kalah. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Tampak kedai es krim itu tak jauh lagi. Sebuah bangunan bercat putih dengan anak tangga keramik yang juga putih. Pintunya dipasangi lonceng.
Ketika mereka hendak mendorong pintu, Jose ditabrak anak kecil seusianya. Anak laki-laki itu berpakaian kumal. Wajahnya belepotan. Di tangannya, tergenggam kotak peralatan semir sepatu. Ia minta maaf, lalu buru-buru pergi. Jose menahannya. Iba hatinya melihat anak itu.
"Kamu mau es krim?" tawar Jose.
Anak itu menggeleng cepat. Mana cukup uangnya? Dia harus menyemir sepatu lagi.
Jose berkeras membelikannya es krim. Dibelikannya seporsi besar es krim coklat. Harganya mahal. Tak masalah. Di ransel Jose, ada satu tas rajutan khusus berisi penuh uang. Dari hari ke hari, uang sakunya tambah banyak.
Anak penyemir sepatu itu senang sekali. Andrio menyikut Jose. Ia bertanya mengapa Jose sebaik itu.
"Kata Ayah Calvin, kita harus berbagi sama orang-orang yang nggak seberuntung kita."
** Â Â
Andaikan kau masih ada
Berdiri mendampingiku
Kuingin kau pun tahu
Betapa ku menyayangimu
Andaikan ku sanggup
Untuk memutar kembali waktu
Tak pernah sekejap pun
Kualihkan engkau dari perhatianku
Selama hidupku hanyalah dirimu
Yang sanggup menyinggahi ruang-ruang hidupku
Selama hidupku hanyalah dirimu
Yang sanggup menempati ruang-ruang hatiku
Jose bernyanyi dengan marah. Suaranya sedikit kasar. Ia menari lebih cepat dari biasanya.
Ia kecewa. Ayah Calvin tak ada di rumah. Ingin diceritakannya pertemuan dengan anak penyemir sepatu. Begitu tiba di rumah, Jose hanya bertemu tiga pengasuhnya.
Kata mereka, Ayah Calvin ke rumah sakit. Tapi mereka tak tahu rumah sakit mana dan untuk apa. Padahal Jose sudah ingin sekali bertemu Ayahnya.
Kesal, Jose naik ke studio musik. Dia bernyanyi keras-keras. Teknik vokalnya jadi aneh. Suaranya meninggi menjadi teriakan di beberapa bar. Pitch controllnya tak terkendali.
Berjam-jam ditunggunya Ayah Calvin. Jose malas makan. Dia tak menyentuh steak kesukaannya saat jam makan siang.
"Ayah jahat! Ayah bikin Jose kesepian!"
Ketiga pengasuhnya kewalahan. Para pelayan geleng-geleng kepala. Susah kalau tuan kecil mereka sudah ngamuk.
Setelah Maghrib, barulah Ayahnya pulang. Ia menyapa Jose hangat. Berusaha memeluk dan menciumnya. Tapi Jose menjauh. Jelas saja Ayah Calvin kebingungan.
"Kenapa, Sayang?" tanya Ayah Calvin lembut.
Jose manyun. "Aku nggak suka ditinggal-tinggal sama Ayah!"
Tangan Ayah Calvin mendarat pelan di kepala Jose. Mengelus-elus rambut, lalu turun ke punggungnya.
"Maaf, Sayang. Tadi Ayah harus ke rumah sakit. Ayah nggak akan tinggalin Jose lagi."
"Padahal kan Jose mau cerita! Cerita kalo..."
"Kalo kamu beliin es krim coklat buat anak penyemir sepatu?"
Jose tertegun. Dari mana Ayahnya tahu?
"Tante cantik yang punya kedai es krim itu temannya Ayah. Dia cerita semuanya." jelas Ayah Calvin.
Walaupun berada jauh darinya, Ayah Calvin tetap tahu apa yang dia lakukan. Betapa besar perhatian Ayah Calvin. Betapa lembut ia menghadapi Jose. Jose beruntung memilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H