15 Maret 2019 adalah hari terkelam di Christchurch, Selandia Baru. Pasalnya, hari itu menjadi hari dipertontonkannya peristiwa kekejaman tak terperi atas nama ras dan agama. Pelakunya seorang pria kulit putih bernama Brenton Tarrant.
Pria berkulit putih dan berhati hitam itu memasang kamera di kepalanya. Ia berkendara menuju masjid tertua di Christchurch. Dua pistol tergenggam di tangan. Setelah memarkirkan mobilnya, ia berjalan angkuh ke dalam masjid. Jemaah masjid yang tengah beribadah shalat Jumat ia tembaki bertubi-tubi.
Dan...gugurlah mereka sebagai syuhada. Nyawa-nyawa tak bersalah melayang bagai kelopak bunga yang berguguran ke tanah. Jatuh, jatuh tak berdaya.
Well, kejam sekali si Brenton ini. Kejahatannya merobek-robek nilai kemanusiaan. Kekejamannya tidak hanya merusak kekhusyukan ibadah yang hakiki, melainkan juga menumbangkan korban-korban yang tak mengerti apa salah mereka.
Ok fine, kejadian ini memang jauh dari negara kita. Bahkan Masjid Al Noor disebut sebagai masjid terjauh dari Ka'bah. Tapi, rasa kehilangan dan duka yang ditinggalkannya teramat dalam.
Young Lady tak kenal si Brenton jelek itu. Namun, ada rasa marah membuncah di hati ini kala membaca namanya tercatat sebagai penembak dan sepak terjangnya sebelum melakukan kekejaman. Bagaimana tidak, Brenton Tarrant dengan percaya dirinya menyiarkan secara life di Facebook saat ia melakukan pembunuhan. Over convidence dan narsis tingkat tinggi. Dianggapnya semua orang akan memuji tindakan terkutuknya.
Tak hanya itu. Beberapa waktu sebelum Brenton menembaki jamaah masjid, di akun Twitternya sempat diposting sebuah foto Bbastille Day 2016 di Nice. Brenton menulis 78 manifesto tentang anti imigran dan anti Islam. Jahat, jahat sekali.
Brenton Tarrant telah membuang-buang waktu dan 78 halaman. Waktu yang mestinya digunakan untuk berbuat kebaikan, 78 halaman untuk menuangkan ujaran kebencian. Kalau Young Lady cantik jadi dia, lebih baik 78 halaman itu digunakan untuk menulis novel. Novel bertema kebaikan dan cinta kasih.
Kabarnya, Brenton telah merencanakan aksi itu dua tahun lalu. Motifnya tentu saja melampiaskan kebencian pada imigran yang ia anggap sebagai penjajah. Selain itu, Brenton ingin membalaskan dendam atas kematian seorang anak di Stockholm. Sebuah cara yang salah, salah dari segi mana pun.
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengutuk perbuatan Brenton sebagai praktik teroris keji. Yups, itu benar sekali. Indonesia pun ikut berduka karena enam WNI berada dalam masjid saat penembakan terjadi.
Betapa mudahnya Tuhan membalik situasi. Dulu, umat Islam sering kali disalahkan atas berbagai serangan terorisme. Coba ingat-ingat tragedi 9/11, Bom Bali, bom gereja, dan aksi terorisme lainnya. Pasti Muslim yang dikambinghitamkan. Lalu kini, Muslim ditembaki saat beribadah. Apa artinya itu?
Artinya, terorisme adalah musuh semua agama. Entah itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, maupun agama-agama kepercayaan. Terorisme, radikalisme, dan intoleransi adalah musuh kita semua. Sudah cukup, berhenti menyalahkan umat Islam atas segala peristiwa terorisme. Sebab umat Islam sendiri juga menjadi korban.
Penembakan di Christchurch dapat menjadi awal lunturnya stereotip bagi umat Islam. Selama ini, Islam dipandang sebagai agama keras, radikal, dan sarang teroris. Tidak, sungguh itu tidak benar. Umat Islam sama seperti umat agama yang lain: merasakan kekejaman terorisme. Terorisme bukan Islam, dan Islam bukanlah teroris.
Young Lady cantik ingin, ingin sekali stereotip yang mendera umat Islam terhapus. Sudahlah, berhenti mendiskreditkan umat Islam. Lihat kan? Muslim yang sedang beribadah saja jadi korban. Ataukah peristiwa ini tak cukup membuka mata?
Betapa mahal harga empati. Islamophobia marak dimana-mana, tuduhan terorisme dilancarkan, gerakan anti-Islam dipropagandakan, dan Muslim ditembaki ketika shalat. Tidakkah orang-orang anti-Islam itu berempati sedikit saja? Bila dibandingkan dengan agama-agama lain, syariat agama Islam lebih berat. Harus ritual ini-itu lima kali sehari, harus begini begitu, tidak boleh begini tidak boleh begitu.Â
Tapi kalian, yang tidak tahu apa-apa dan tidak pernah menjalankan syariat Islam, seenaknya saja melekatkan stereotip. Sungguh, kalian tidak tahu apa-apa tentang Islam. Sudah tidak tahu, tidak empati pula. Sampai kapankah keadaan ini akan berakhir?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H