Malam itu, Calvin harus berpisah dengan beberapa helai rambutnya. Helaian mahkota ciptaan Tuhan berguguran di bantal. Jahat sekali obat-obatan yang telah merenggut paksa.
Bantal sutra putih tak lagi bersih. Dengan hati pedih, Calvin menatapi helaian rambutnya yang menempel di sana. Perlahan dia bangkit. Ranjang king size itu ditinggalkannya.
Setelah ini apa lagi? Ia tatapi refleksi dirinya di cermin. Calvin kehilangan sebagian ketampanannya. Bukan, bukan karena usia. Tapi karena obat-obatan dan penyakit.
Lihatlah, tubuhnya tak seatletis dulu. Tak setegap dulu. Tubuhnya tak lagi proporsional.
Frustrasi menghujam hatinya kuat. Dipalingkannya tatapan dari cermin besar. Sungguh, Calvin belum siap mendapati perubahan drastis pada tubuhnya.
Bukan hanya jam biologisnya yang berubah, tetapi juga penampilannya. Penyakit ini telah mengubah banyak hal. Ya, Allah, apa salah Calvin hingga ia harus ditimpa penyakit stadium lanjut?
Langkahnya sedikit limbung saat menghampiri grand piano putih. Beludru putih dibuka. Sepuluh jarinya bergerak naik-turun di atas bidang hitam-putih itu. Untaian nada dimainkan.
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta